J5NEWSROOM.COM, Bologna – Pergeseran isu Lembaga Adat Melayu (LAM) yang memegang fungsi intermediari, seharusnya dapat mencegah konflik ihwal pluralisme. Jangan sampai justru lembaga ini menjadi pusat konflik baru.
Demikian ungkap dosen Universitas Riau (Unri), Dr. Mexsasai Indra di forum “Konferensi Internasional tentang Demokrasi, Tantangan, Resiko dan Peluang untuk Demokrasi Era Kontemporer” di Forum Konferensi Internasional Bologna Italia, 10-12 Oktober 2024, di Bologna, Italia.
Dr. Mexsasai Indra hadir dan menyampaikan paper hasil riset kolaborasinya bersama dengan dua dosen Unri lainya, Dr. Belli Nasution dan Dr. Muchid Albintani. Paper dipaparkan tiga dosen Unri itu bertajuk, “Identitas, Nasionalisme, Dan Otonomi Daerah: Konflik Sosial Baru di Riau, Indonesia”.
“Dalam konteks inilah dikenal dengan istilah konflik sosial baru. Era otonomi hubungan ketatanegaraan antar pusat dan daerah wajib berjalan harmonis,” ujar Dr. Mexsasai Indra yang juga Wakil Rektor 1 Unri itu.
Kemudian, Belli Nasution yang juga Ketua Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMP) Universitas Riau (Unri) memaparkan, dalam perspektif komunikasi seharusnya setiap komunikator (aktor dalam konteks elite), tokohnya menjalin komunikasi adaftif terhadap konflik sosial baru.
“Jika terjadi konflik di tengah masyarakat, dapat diselesaikan melalui jalur komunikasi persuasif dalam kesetaraan. Tanpa ada dominasi salah satu aktor politik. Peran itu diharapkan dilakukan LAM. Sehingga sebesar apapun konfliknya dapat dicaarikan solusi yang komunikatif,” papar Belli Nasution.
Pembentang yang lain, dosen Prodi S3 Administrasi Publik, Fisip Unri, Muchid Albintani, mengatakan bahwa konflik sosial baru tidak identik dengan konflik sosial secara umum. Pergeseran isu ihwal kepentingan pusat-lokal juga dapat dialihkan menjadi konflik kokeltif masyarakat secara vertikal yang dapat dibenturkan antar aktor elite lokal, pemerintah daerah dan lainnya. Itulah arti penting memahami konflik sosial baru dalam perspektik kekuasaan.
“Demokrasi di era kontemporer memiliki varian yang kompleks. Yang sangat berbahaya ketika demokrasi dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Konstitusi yang selalu menjadi landasan dan pedoman kehidupan berbangsa-bernegara dengan niat untuk diterabas pun dengan atas nama Demokrasi. Itulah sebabnya hubungan konflik sosial baru dengan demokrasi menjadi penting dikaji,” papar Muchid Albintani kepada J5NEWSROOM.COM, melalui sambungan telepon dari Italia.
Untuk itu, lanjut mantan koresponden Majalah Tempo di Malaysia itu, cermatilah dengan saksama, tidak hanya di dalam negeri, dunia internasional pun mengalami krisis demokrasi. Oleh sebab itu demokrasi wajib dipahami secara holistik dan dari berbagai perspektif.
Konferensi internasional ini diselenggarakan oleh Asosiasi Sosiologi Internasioal (AIS) cabang Italia dan Eropa. Selain itu, konferensi juga didukung Asosiasi Ilmu Politik Internasional (International Political Science Association/IPSA).
Editor: Saibansah