Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
TENTU saja, hari ini Joko Widodo alias Jokowi resmi mengakhiri masa jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Banyak orang bersyukur, berseru alhamdulillah, karena seseorang yang tidak mereka suka disebabkan daya rusaknya terhadap bangsa dan negara telah pergi meninggalkan Istana.
Tapi, banyak pula yang mengelu-elukannya. Di mana-mana di Jakarta dan Solo kita bisa melihat spanduk warna merah darah, menyuarakan apresiasi dari para pendukung yang —boleh jadi— tidak mau melupakan sosok presiden yang satu ini. “Terima kasih, Jokowi!” begitu bunyinya, entah dibuat dengan tulus atau sekedar demi fulus.
Setidaknya, spanduk-spanduk itu untuk sementara menenangkan hati dan pikiran Jokowi yang, tak bisa disangkal, pasti sedang bergolak. Apakah ia puas? Mungkin iya, karena toh rakyat sendiri puas dengan dirinya. Survei-survei yang dibuat, entah tulus atau demi fulus, menunjukkan tingkat kepuasan rakyat di angka dahsyat 80 persen.
Di sisi lain, apakah ia menyesal? Pasti ada. Bagaimana tidak? Ada janji-janji yang sampai detik ini seperti belum sepenuhnya terkirim, tersangkut entah di mana. Mungkin tercecer di proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang pembangunannya masih jauh dari selesai. Ada pula janji-janji lain yang, yah, tak perlu diungkit di sini karena daftarnya bisa panjang sekali, bagaikan membentang dari Solo hingga ke Jakarta.
Jadi, bagaimana nasib Jokowi selanjutnya? Pertanyaan inilah yang membuat kawan saya yang wartawan, aktivis, dan ahli kejawen tertarik menonton video ramalan tarot dari seorang Bunda Skar Ayunda. Ketika saya bertanya, “Apa percaya ramalan begituan?” dia hanya tersenyum santai, “Iseng aja, Cak.”
Jika kita melihat realitasnya, ada dua skenario besar yang tampak. Pertama, Jokowi pulang dengan tenang, menyusuri jalan Jakarta-Solo yang telah diamankan oleh ribuan personel polisi. Dia naik mobil mewah hingga nanti menikmati masa purnanya dengan damai.
Kedua, kita mungkin menghadapi Jokowi yang terus aktif secara politik melalui peran aktif Gibran, putranya yang hari ini dilantik jadi wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Atau melalui tangan-tangan lainnya.
Salah satu hal yang mudah diprediksi tentu penurunan kewibawaan Jokowi. Demo-demo berlangsung beberapa hari sebelum ini, menuntutnya diadili. Ratusan hingga ribuan artikel dan video dibuat dengan topik yang sama. Bahkan sidang pengadilan atasnya sedang berlangsung di PN Jakarta Pusat.
Tentu kondisi ini patut dipertanyakan. Dalam sejarah politik Indonesia, mantan presiden memiliki posisi unik. Lihat saja Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang, meski telah lengser, tetap menjaga martabatnya yang tinggi sebagai salah satu tokoh bangsa yang dihormati.
Namun, dengan Jokowi, kondisinya sedikit berbeda. Gaya kepemimpinannya yang “masuk gorong-gorong” dan sering terkesan tidak protokoler mungkin membuatnya lebih rentan terhadap kritik pasca-lengser. Tak sedikit yang menganggap proyek ambisiusnya, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), sebagai langkah terlalu gegabah.
Dipastikan, Jokowi akan terus menghadapi lebih banyak hujatan setelah lengser. Dalam konteks ini, kita harus jujur bahwa kehidupan seorang mantan presiden di Indonesia tak pernah sepenuhnya damai. Kritik dan tuntutan yang mungkin tertahan dan tak didengar selama masa jabatannya akan membanjiri setelah ia tak lagi memiliki kekuasaan formal.
Lihatlah pengalaman Presiden Soeharto yang, setelah lengser di tahun 1998, dihadapkan pada berbagai tuntutan, baik hukum maupun moral. Boleh jadi, situasi Jokowi tidak seberat Soeharto, tapi hujatan dan kritik tampaknya tak akan terelakkan. Dan bisa jadi, terus menyala seperti semak yang terbakar.
Apakah Jokowi akan menjadi sosok yang berada “di bawah” setelah 20 Oktober 2024? Dugaan besar berkata begitu, tapi fakta di lapangan mungkin tidak sesederhana itu. Jokowi punya aset politik tak kecil, yang dibangunnya belasan tahun. Selain keberadaan Gibran yang kini melangkah ke panggung nasional, Jokowi juga punya basis massa yang mungkin masih setia. Apakah ini cukup untuk menghindarkannya dari “penurunan nasib” yang diprediksi? Itu akan sangat tergantung pada bagaimana ia mengelola masa transisi ini.
Menarik untuk membahas prediksi bahwa Jokowi akan tetap mempengaruhi politik nasional melalui Gibran. Apakah benar? Dengan Gibran berhasil menjadi wakil presiden, apakah Jokowi akan memainkan peran semacam “shadow president”?
Pertanyaannya, apakah ini fenomena baru di Indonesia? Lihat saja Megawati Soekarnoputri yang tetap memegang kendali politik via PDIP meskipun tak lagi menjabat sebagai presiden. Sejarah menunjukkan bahwa di Indonesia, garis kekuasaan sering kali tidak sepenuhnya pupus setelah lengser.
Namun, ada risiko besar bagi Jokowi jika ia terlalu campur tangan dalam politik melalui Gibran —kritik akan lebih mudah diarahkan padanya. Mungkin Kaesang dikerahkan untuk membantu, tapi partainya kecil. Mungkin Bahlil di Golkar ditekan untuk membantu, tapi yang satu ini juga sedang bermasalah.
Yang pasti, Jokowi punya ikatan kuat dengan IKN. Apakah itu nasib atau beban? Proyek IKN jelas merupakan ambisi terbesar Jokowi, dan sekaligus bisa menjadi beban terberat setelah ia lengser. Jika IKN gagal, itu akan menjadi cacat permanen dalam catatan sejarah kepemimpinannya.
Meski ia tidak lagi di tampuk kekuasaan, kegagalan atau kesuksesan proyek tersebut akan selalu dikaitkan dengannya. Terlebih, proyek ini memiliki skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan tantangannya pun tak kecil.
Begitu banyak faktor yang bisa mempengaruhi kelanjutan IKN, dari anggaran hingga kesediaan pemerintahan berikutnya untuk melanjutkan proyek tersebut, masa depan proyek ini tetaplah tidak pasti. Jika berhasil, Jokowi akan dikenang sebagai visioner; jika gagal, ia akan dicerca sebagai presiden yang terlalu ambisius dan amburadul. Mungkinkah ini salah satu sumber “kesedihan luar biasa” yang diprediksi?
Pada akhirnya, nasib Jokowi pasca-lengser bukan hanya soal ramalan atau prediksi, tapi soal bagaimana ia memposisikan diri dalam dinamika politik Indonesia. Satu hal yang pasti, perjalanan nasibnya ke depan akan penuh teka-teki, karena soal nasib pastinya ada di tangan Allah.
Jadi, apakah Jokowi akan menjadi sosok yang nyungsep ke bawah atau tetap “di atas” meskipun tak lagi berkuasa? Hanya waktu yang akan menjawabnya, sesuai kehendak-Nya.*
Jakarta, 20.10.2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995