Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha)
SETELAH dilantik sebagai Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto menggaungkan konsep “demokrasi sejuk.” Dalam pidato pertamanya di gedung MPR/DPR, dia menekankan bahwa demokrasi harus substansial, bebas dari kebencian dan kekerasan.
Namun, gagasan ini mestinya tidak berhenti pada pidato yang berapi-api, melainkan menyentuh filosofi mendalam tentang demokrasi yang tidak sekadar pemilu prosedural atau jargon pemerintahan oleh rakyat untuk rakyat. Demokrasi mestinya menukik ke yang substansial.
Mari, kita simak kembali pidato Prabowo pada 20 Oktober 2024: “Demokrasi kita harus demokrasi yang santun, di mana berbeda pendapat harus tanpa permusuhan. Demokrasi yang kalau bertarung tanpa membenci, koreksi tanpa caci maki, menghindari kekerasan, adu domba, hasut-menghasut. Harus sejuk, damai, menghindari kemunafikan. Tanpa curang…”
Dari kutipan ini, terlihat jelas bahwa Prabowo mengusulkan pendekatan baru dalam berpolitik: demokrasi yang penuh etika. Demokrasi tidak hanya soal suara mayoritas atau kekuasaan rakyat. Demokrasi harus menjamin kebebasan hidup yang damai, dengan prinsip utama tidak membuat kekacauan.
Prabowo memaknai demokrasi dalam Pancasila dengan kalimat yang sederhana dan mudah dipahami, di mana rakyat memperoleh pemimpin yang dipilih secara bijak melalui permusyawaratan perwakilan. Para pendiri bangsa menekankan demokrasi ala permusyawaratan perwakilan.
Selama ini, definisi demokrasi seringkali terbatas pada kekuasaan dari rakyat, mandat diberikan oleh rakyat, namun definisi ini dapat dimanipulasi, terutama dalam politik berbiaya tinggi. Dalam konteks ini, demokrasi seringkali dibajak oleh kepentingan segelintir elit, dan bukan untuk rakyat.
Filosofi demokrasi yang lebih mendalam adalah menciptakan lingkungan yang damai dan adil. Demokrasi juga seharusnya tidak mengklaim superioritas global atau menjadi polisi dunia yang justru menyebarkan kekacauan, seperti dilakukan Amerika Serikat.
Ketika kita mengadopsi mentah-mentah sistem ala Barat, wajah demokrasi kita yang diniatkan penuh semangat gotong royong berubah menjadi demokrasi yang penuh intrik dan hoaks. Sistem ini memunculkan kekacauan, ketegangan sosial, memperuncing perbedaan, dan menciptakan masyarakat yang semakin individualis.
Membaca sinyal dari pidato Prabowo, ada kemungkinan bahwa sistem demokrasi Indonesia akan mengalami perubahan signifikan. Salah satunya adalah kembalinya pemilihan presiden atau kepala daerah melalui MPR atau DPRD, sebagaimana sebelum amandemen UUD 1945. Bahkan, tidak menutup kemungkinan bahwa kita akan kembali ke UUD 1945 naskah asli.
Kenapa hal ini mungkin terjadi? Karena dalam sistem demokrasi dengan pemilihan berbiaya tinggi seperti sekarang, sulit membayangkan terciptanya demokrasi yang benar-benar sejuk dan santun. Pemilihan langsung untuk semua pemilu seringkali memicu politik transaksional, pencitraan semata, dan keterlibatan kepentingan oligarki.
Prabowo juga mengkritik demokrasi ala Barat yang lebih menekankan pada kuantitas suara daripada kualitas kebijakan. Demokrasi Barat, terutama yang diklaim AS, seringkali diekspor ke negara-negara lain dengan dalih misi demokrasi, namun justru memperparah kondisi di negara tersebut. Invasi Amerika ke Irak, Afghanistan, Libya, dan Suriah adalah contoh nyata.
Ironi ini menjadi alasan kuat bagi Prabowo untuk mendorong Indonesia mengadopsi sistem demokrasi yang lebih sesuai dengan karakter bangsa — yang guyub, penuh tepo seliro, dan menjunjung tinggi gotong royong. Ini baru bisa terlaksana dengan mengubah landasan konstitusional demokrasi kita.
Akhirnya, apakah “demokrasi sejuk” ini dapat diwujudkan atau hanya sekadar imajinasi? Sekali lagi, perubahan konstitusional tentu diperlukan untuk mencapai demokrasi yang benar-benar berlandaskan etika dan kebebasan tanpa kekacauan. Walaupun langkah ini mungkin kontroversial, inilah satu-satunya jalan untuk menciptakan demokrasi yang santun, adil, damai, dan substansial, di Indonesia.
Pesantren Tadabbur al-Qur’an, 22.10.2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995