Oleh Imam Shamsi Ali
SATU hal yang akan diingat oleh sejarah negeri tercinta ini adalah adanya satu hari yang diperingati sebagai Hari Santri. Konon, peringatan ini merupakan bagian dari perjuangan teman-teman Nahdlatul Ulama (NU) yang pada akhirnya diterima dan ditetapkan oleh pemerintah melalui sebuah Keputusan Presiden (Keppres).
Usaha untuk menetapkan Hari Santri ini mengingatkan saya pada perjuangan Komunitas Muslim di New York dalam memperjuangkan Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari libur sekolah. Perjuangan tersebut memakan waktu kurang lebih tujuh tahun.
Ikhtiar itu kami mulai sejak Michael Bloomberg menjabat sebagai Wali Kota New York. Setelah berhasil meloloskan resolusi dukungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) New York, kami mendesak Wali Kota untuk menandatangani resolusi tersebut agar menjadi undang-undang di kota tersebut. Sayangnya, hingga akhir masa jabatannya, Bloomberg belum berhasil meresmikan Idul Fitri sebagai hari libur sekolah di New York.
Namun, di era Walikota Bill de Blasio, saat ia meminta dukungan kami pada pemilihan kepala daerah, kami mengaitkan dukungan tersebut dengan komitmen untuk menjadikan Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari libur sekolah. Beliau setuju, dan akhirnya dua hari besar umat Islam tersebut diresmikan sebagai hari libur sekolah di kota dunia ini.
Benar atau tidaknya proses penetapan Hari Santri sebagai bagian dari barteran dukungan politik, bagi saya hal itu tidak terlalu penting, dan itu sah-sah saja. Di situlah seharusnya salah satu makna jihad politik. Ormas-ormas Islam harus mampu menjadi bagian dari proses politik tersebut, memperjuangkan kepentingan umat melalui jalur politik, meskipun tidak harus terjun ke dalam politik itu sendiri.
Sebagai santri, saya tentu bangga bahwa pada akhirnya santri mendapat pengakuan resmi. Pengakuan ini sangat penting karena santri telah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Santri tidak bisa dipisahkan dari perjalanan besar bangsa ini.
Santri itu pilihan dan mutamayyiz (Istimewa)
Di masa lalu, ada semacam persepsi bahwa anak-anak yang disekolahkan di pesantren adalah “pembuangan”. Artinya, mereka yang tidak berhasil masuk sekolah negeri atau sekolah lainnya, dimasukkan ke pesantren. Akibatnya, pesantren sering diidentikkan dengan anak-anak nakal atau terbelakang.
Namun, persepsi ini kini telah bergeser seiring realita bahwa santri memiliki potensi dan kapabilitas yang tidak kalah, bahkan mungkin lebih baik dibandingkan mereka yang bersekolah di tempat lain.
Santri memiliki azam (keinginan yang kuat) yang terbangun di atas kepribadian mandiri. Seseorang tidak akan bisa bertahan di pesantren tanpa tekad yang kuat dan matang, karena pesantren menuntut kemandirian dan kedisiplinan dalam segala hal.
Selama di pesantren, santri tidak hanya belajar ilmu pengetahuan (tholab al-ilm), tetapi juga belajar tentang kehidupan. Pesantren adalah latihan hidup (life training), di mana para santri diajarkan untuk hidup mandiri, disiplin, dan memandang masa depan dengan optimisme yang besar.
KH Abdul Djabbar Ashiry, seorang kiai, pernah berpesan kepada saya ketika saya akan berangkat ke luar negeri: “Nak, di pesantren ini kamu tidak hanya menimba ilmu, tetapi juga belajar hidup. Di mana pun kamu berada, kamu akan siap untuk hidup.”
Santri juga memiliki mental baja. Dunia yang semakin keras dan penuh persaingan hanya bisa dihadapi dengan mentalitas yang kuat. Manusia yang bermental lemah akan hancur di hadapan pergerakan dan perubahan yang tidak terduga (unexpected). Dengan semakin kompleksnya permasalahan hidup, pesantren menempah santri untuk memiliki keberanian, kepercayaan diri, namun tetap rendah hati.
Santri adalah sosok yang menggabungkan dua kekuatan utama dalam hidup: akal dan hati. Dengan kekuatan ini, mereka siap mengarungi kompleksitas kehidupan sebagai ulul albab—mereka yang cerdas secara intelektual dan bijak secara spiritual.
Santri tidak mudah tertipu karena akalnya tajam, tetapi juga tidak perlu menjadi penipu karena memiliki hati nurani yang bersih.
Santri juga dibekali dengan kemampuan yang mumpuni, terutama dalam penguasaan bahasa asing. Mereka diajarkan ceramah (muhadhoroh), diskusi, hingga mujadalah (debat), baik dalam bahasa lokal maupun asing. Ini menjadi modal penting dalam menghadapi dunia global, di mana kemampuan komunikasi sangat menentukan.
Namun, lebih dari itu, santri tidak sekadar menjadi agen perubahan. Mereka harus menjadi pemimpin dalam perubahan tersebut. Dengan modal akal dan spiritualitas yang didukung oleh mental baja, santri siap menghadapi dinamika kehidupan.
Santri tidak mudah terombang-ambing oleh perubahan dunia yang tidak terduga. Mereka tetap teguh dan mampu mengatasi tantangan, bahkan dalam dunia yang semakin global dan penuh persaingan.
Santri bagaikan air segar yang mengalir, selalu menemukan jalan untuk memberikan kesegaran dan kehidupan. Mereka juga seperti pohon yang kuat, dengan akar menghujam dalam tanah, tak mudah tercabut oleh angin kencang.
Santri adalah sosok “bervisi jauh ke depan, namun tetap mengakar pada dirinya”.
Selamat Hari Santri!
Udara Dubai, 22 Oktober 2022
Penulis adalah alumni Pesantren Muhammadiyah “Darul-Arqam Gombara” Makassar. Pendiri Pondok pesantren Nur Inka Nusantara Madani Amerika Serikat. Artikel ini dijapri penulis ke J5NEWSROOM.COM, Rabu 23 Oktober 2024.