Hari Santri Bukan Sekadar Seremoni

Naila Ahmad Farah Adiba. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Naila Ahmad Farah Adiba

HARI Santri menjadi sebuah ikonik di berbagai wilayah Nusantara. Dari Sabang sampai Merauke hampir seluruhnya melaksanakan upacara untuk memperingati hari santri nasional yang bertepatan pada tanggal 22 Oktober pada setiap tahunnya.

Perayaan hari santri ini dilakukan untuk memperingati hari resolusi jihad pertama kali yang digaungkan oleh Hadratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945.

Perayaan hari santri ini bukanlah kali pertama terjadi. Melainkan sudah yang kesekian kalinya dilakukan oleh berbagai pondok pesantren maupun sekolah berbasis Islam didalamnya.

Mulai dari upacara atau apel memperingati hari santri, kemudian di beberapa sekolah atau madrasah bahkan mengadakan berbagai perlombaan untuk memeriahkan hari santri tersebut. Namun, pernah tidak terbetik di dalam benak kepala kalian, mengapa sejarah seolah menguburkan dan juga mengaburkan sejarah tersebut?

Bukankah makna di sebalik hari santri seharusnya diketahui oleh seluruh masyarakat dan juga para pelajar khususnya? Lalu, mengapa, sudah berpuluh-puluh kali perayaan hari santri dilakukan, namun mengapa perubahan itu tak kunjung datang?

Tentunya hal atau alasan yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan pertama adalah tentu saja karena kaum barat tidak rela kaum muslimin mengetahui kebenaran dari sejarah tersebut. Sehingga dengan sengaja mereka membuat-buat sejarah untuk mengaburkan kita dari sejarah yang sesungguhnya.

Kemudian, banyak dari para santri yang bahkan tidak mengetahui esensi atau makna sebenarnya dari gelar santri yang tersemat di pundaknya. Mereka bahkan dengan bangganya melakukan sebuah perilaku dosa & maksiat. Padahal, tugas seorang santri itu adalah menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dan juga lingkungan disekitarnya.

Sebagai seseorang yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren meskipun hanya tiga tahun, banyak hal yang dapat diambil sebagai pembelajaran. Mulai dari semangat menuntut ilmu, belajar sabar jika tak sesuai ekspektasi, dan banyak hal-hal baik lainnya yang dipelajari semasa di pondok.

Nah, setelah lulus dari pondok seharusnya ghirah atau semangat itu tak boleh padam. Bahkan harus terus membara. Maka, adanya hari santri pun bukan sekadar seremoni. Melainkan sebuah peringatan untuk kembali mengobarkan jihad melawan kezaliman dan penjajahan yang terjadi.

Maka, mulai saat ini, percayalah bahwa pernah berada di pondok pesantren ataupun tidak bukanlah sebuah permasalahan. Melainkan, bagaimana kita terus bersama-sama menyadarkan umat bahwa Islam adalah sumber segala solusi atas seluruh problematika yang terjadi.

Oleh karenanya, sejak detik ini tanamkan pada diri kita sendiri bahwa hari santri bukanlah sekadar seremoni melainkan sebuah hari untuk kembali mengobarkan perjuangan hingga syariat Islam sempurna diterapkan.

Wallahu a’lam bisshowwab.

Penulis adalah Siswi MAN 1 Kota Batam