Oleh Naila Ahmad Farah Adiba
MIRIS! Pergaulan remaja saat ini kian bebas dan tak tentu arah. Bahkan, untuk kisaran usia SD (sekolah dasar) saja ada yang mengaku sudah melakukan hubungan suami-istri dengan pacarnya. Entah dilakukan di rumahnya yang sepi atau bahkan ada yang sengaja menyewa hotel untuk melakukan perbuatan terlarang tersebut.
Hal ini sudah menjadi fenomena yang tak asing lagi untuk kita cermati. Bukan hanya sekali dua kali terjadi, namun sudah berkali-kali bahkan sampai pada taraf yang sudah tidak dapat dicegah lagi. Belum lagi perbuatan ini sudah dinormalisasi oleh banyak kalangan masyarakat. Mereka menganggap bahwa zina adalah sesuatu yang legal. Terutama sejak ada peraturan yang melegalkan alat kontrasepsi diberikan kepada anak usia sekolah.
Padahal, jika kita telaah dan kaji kembali, berbagai fakta yang terjadi hari ini merupakan dampak dari banyak hal kecil yang dahulu dinormalisasi dan dilegalkan. Contohnya, pacaran kini bukan suatu hal yang tabu lagi untuk dilakukan. Bahkan, kini yang jomblo yang dianggap kurang pergaulan dan sering disebut “gak laku”.
Nah, maraknya pacaran karena banyaknya orang yang menormalisasi hal itu. Pergaulan tidak dijaga dengan baik, sering keluar malam antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram ataupun lain sebagainya. Sehingga sering perkembangan zaman, norma-norma yang dahulu diterapkan sudah tidak digunakan lagi.
Maka dari itu, untuk mencegah dampak jangka panjaang yang dihasilkan diperlukan kerja sama dari berbagai pihak. Tentu yang pertama adalah bagaimana upaya kita untuk meminimalisir terjadinya pergaulan bebas. Seperti aturan yang tegas dari keluarga dan juga lingkungan disekitarnya.
Aturan yang tegas ini juga harus selaras dengan setiap individu remaja yang juga harus meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Sehingga, ketika ketakwaan telah terpatri dalam diri, maka insyaallah akan menjauhi segala apa yang telah dilarang oleh Allah SWT.
Kemudian persepsi masyarakat juga harus disamakan bahwa standar atau tolok ukur suatu perbuatan adalah hukum syara’, yakni kembali kepada seluruh aturan yang telah Allah jabarkan di dalam kitab suci Al-Qur’an. Ketika persepsi telah disamakan, maka ketika menyikapi suatu perbuatan, tindakan yang dilakukan akan sama. Yakni menghukum para pelaku maksiat agar jera dan tidak mengulanginya kembali.
Namun sayangnya, hal ini sangat sulit untuk terwujud jika institusi negara dan sistem yang berlaku di negeri ini masih belum menerapkan hukum-hukum Islam secara sempurna. Akibatnya, ketika salah satu pihak yang hendak memperjuangkan sanksi sesuai hukum Islam, malah dicap sebagai anti Pancasila, anti toleran, dan lain sebagainya.
Maka, untuk menyelesaikan permasalahan yang saat ini sudah terjadi secara sistemik, juga dibutuhkan sebuah tatanan negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Karena seperti yang telah kita lihat selama ini, bahwa nyatanya sistem demokrasi kapitalisme gagal untuk memberikan solusi paripurna bagi seluruh problematika rakyatnya.
Wallahu a’lam bish shawab.*
Penulis adalah Siswi MAN 1 Kota Batam