Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
DI TENGAH para pasangan calon bupati, wali kota, hingga gubernur yang sibuk menjanjikan program “mengentaskan kemiskinan” (mungkin biar mirip superhero?), ternyata ada kelompok yang hampir selalu terlewat: anak-anak yatim. Bukan karena mereka sulit dicari —anak yatim ada di mana-mana— tapi tampaknya, tak banyak yang melihat potensi elektabilitas dari anak-anak tanpa wali ini.
Karena, ya, suara mereka jelas tidak bisa dipanen, mereka masih anak-anak. Dan kalau ada yang sempat bicara soal yatim, biasanya dianggap sekadar hiasan pidato, ceramah pengajian ibu-ibu majelis taklim, atau sekedar seperti pernyataan “anak-anak adalah masa depan bangsa.” Siapa yang bisa menentang? Tapi siapa juga yang benar-benar peduli?
Baru-baru ini, ada yang mencoba angkat suara soal nasib anak yatim ini. Tim Paslon Ridwan Kamil (RK)-Suswono muncul dengan gagasan yang cukup bombastis: menjadikan anak-anak yatim sebagai “anak negara.” Sebuah ide yang tampaknya orisinil.
Iya, Anda tidak salah dengar, “anak negara.” Jadi, alih-alih mengandalkan panti-panti asuhan, yayasan atau ormas, negara akan mengurus mereka dengan lebih serius. Ide brilian ini langsung disebarkan saat kunjungan tim paslon itu ke ormas-ormas Islam, seperti Persatuan Ummat Islam (PUI) di Pancoran, Jakarta, dengan dihadiri belasan tokoh ormas lainnya.
Hebatnya, ini bukan cuma mimpi di siang bolong, tapi benar-benar diusulkan sebagai program. Namun, tentu saja, proposal ini tak lepas dari intrik politik. Apalagi, di sisi lain, ada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mendominasi DPR, dan anggaran untuk anak yatim dalam APBN 2025 justru dihapus. Kok bisa? Ya, tanyakan saja pada partai yang katanya “berjuang” untuk wong cilik itu.
Walaupun mereka membawa program pengentasan kemiskinan, tapi anak-anak yatim tampaknya tidak masuk prioritas mereka. Lucunya, mereka yang berkoar-koar mengaku partainya “wong cilik” malah lupa ada satu golongan yang lebih lemah dari kaum dhuafa: anak-anak tanpa orang tua yang bergantung pada belas kasihan.
Tidak ada yang salah dengan program pengentasan kemiskinan, tentu saja, tapi anggaran yatim ini kok hilang untuk tahun 2025? Lalu, Hidayat Nur Wahid yang sobatnya Suswono sampai harus mengangkat isu ini dalam Rapat Kerja DPR, mempertanyakan kenapa bantuan sosial bagi anak yatim dihapus untuk anggaran tahun depan. Mungkin karena tidak cukup “glamor” untuk dijual ke konstituen, ya?
Kementerian Sosial memang punya program bantuan sosial bagi anak yatim sejak merebaknya kasus Covid-19, yang disebut Atensi Yapi (Yatim Piatu). Namun, dari sekitar empat juta anak yatim di Indonesia, yang diberi bantuan pemerintah hanya sekitar enam persennya. Atau 240 ribu saja, dengan anggaran sekitar setengah triliun rupiah.
Pada tahun 2024, misalnya, bantuan itu bisa berupa uang tunai atau bantuan barang. Si yatim akan mendapatkan bantuan, jika dalam bentuk uang tunai, sebesar Rp200.000 per bulan. Kalau pencairannya dilakukan setiap tiga bulan, penerima akan memperoleh total Rp 600.000. Kecil sekali.
Yang menarik, dalam Islam, posisi anak yatim sangat spesial. Ada sekitar 23 ayat dalam Al-Qur’an yang menyinggung anak yatim, dari menjaga hartanya sampai ancaman bagi siapa pun yang mencoba menguasai milik mereka. Bahkan, kisah Nabi Khidir yang merobohkan tembok untuk melindungi harta anak yatim menjadi pengingat bahwa perhatian pada mereka harus konkret dan nyata.
Nabi Muhammad Saw sendiri adalah anak yatim, sehingga beliau banyak memberi perhatian pada kaum sesama ini melalui banyak hadits beliau. Tapi tampaknya para pembuat kebijakan kita punya tafsir tersendiri —ayat-ayat dan hadits ini kayaknya cuma untuk didengarkan di pengajian, bukan untuk dijalankan di meja parlemen.
Kembali ke program RK-Suswono (Rido), mereka mencoba memopulerkan ide menjadikan anak yatim sebagai “anak negara.” Artinya, negara bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka, tidak sekadar memberikan bantuan ala kadarnya.
Ini bisa jadi gebrakan besar, tapi tentunya akan sulit dijalankan tanpa dukungan kebijakan dan anggaran. Jadi, anak yatim ini mungkin akan tetap “hidup di negara” tapi belum tentu jadi “anak negara” jika kebijakan semacam ini tidak segera disahkan.
Menariknya, dalam politik, ide sebesar ini kadang bisa lenyap karena hal-hal remeh. Sebut saja, wartawan membuang gagasan ini dari pemberitaan, dan malah mengangkat soal yang menimbulkan salah tafsir seperti cerita candaan soal pernikahan janda kaya. Humor ini lalu viral, dan terlanjur disulap jadi drama politik nasional.
Jika dipikir-pikir, siapa yang sebenarnya lebih butuh pertolongan: jurnalis yang berpikiran sensasional, atau anak-anak yatim piatu ini? Jurnalis mungkin bisa diingatkan oleh Dewan Pers, tapi anak-anak yatim? Di sinilah peran negara seharusnya menjadi nyata, bukan hanya menjadi retorika kosong. Kalau kita serius ingin memberi mereka kesempatan, program ini tidak sekadar langkah baik —ini langkah yang wajib.
Di balik segala drama yang mengiringi, ide untuk menjadikan anak yatim sebagai “anak negara” ini sebenarnya punya potensi besar. Jika benar-benar diwujudkan, ini bisa menjadi bukti nyata bahwa negara hadir bagi yang paling membutuhkan, dan bukan hanya jargon kosong. Dan bagi kita semua, ini pengingat bahwa politik tidak seharusnya menenggelamkan niat baik demi headline yang sensasional.*
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 07/11/2024
Penulis adalah pendiri Republika Online 1995