Oleh L. Nur Salamah, S.Pd.
VIRAL. Media sosial dihebohkan dengan pemberitaan tentang peternak dan pengepul susu sapi di Boyolali yang mandi dan membuang susu di jalanan. Tidak kurang dari 50.000 liter susu segar dibuang begitu saja.
Hal itu dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah, karena susu murni yang dihasilkan oleh peternak tidak terserap oleh Industri Pengolahan Susu.
Sepintas mungkin kita bisa berkomentar: “Mengapa mereka bertindak bodoh begitu? Mengapa dibuang? Mengapa enggak disedekahkan saja biar bermanfaat dan berpahala? Atau bisa diobral atau dijual murah, setidaknya bisa balik modal, meskipun enggak mendapatkan keuntungan sebagaimana yang diharapkan? Atau bisa diolah menjadi keju, yoghurt atau yang lainnya?”
Berkomentar, adalah perkara yang paling mudah untuk dilakukan. Bicara sedekah, enggak usah ajari mereka bersedekah. Mereka sudah terbiasa melakukan itu. Bahkan, sedekah tersebut tidak hanya disalurkan kepada yang muslim. Tapi, kepada non muslim bahkan yayasan, mereka sudah melakukannya.
Lagipula, bersedekah itu kalau jumlah susu berkisar puluhan liter. Ini jumlah susu yang dihasilkan oleh peternak mencapai 50.000 liter per hari. Sedangkan kuota yang dibisa diserap oleh IPS (Industri Pengolahan Susu) hanya sekitar 20.000 liter, itu artinya masih ada 30.000 liter lagi yang tersisa. Mau disedekahkan?
Coba kita bayangkan saja. Seandainya kita dikasih susu setiap hari, dengan jumlah yang tidak sedikit, meskipun gratis, pasti merasa eneg juga.
Mau dijual murah sekali pun, siapa yang hendak membeli susu yang jumlahnya ber ton-ton setiap harinya. Kalau hendak dibuat produk olahan seperti keju atau yoghurt, itu juga enggak instan. Butuh waktu, tenaga, pikiran, dan keahlian tertentu. Sedangkan susu segar ini hanya bertahan dua hari.
Keran Impor
Pembatasan kuota oleh IPS ini diduga karena kebijakan pemerintah yang membuka keran impor. Alasan yang disampaikan adalah karena peternak lokal belum bisa memenuhi kebutuhan akan susu nasional. Sehingga 80% harus dipenuhi dengan impor.
Belum lagi, wacana akan adanya impor 1000.000 sapi perah untuk tahun 2025-2029 dalam rangka memenuhi kebutuhan program makan siang gratis.
Pernyataan di atas jelas terbantahkan dengan fakta yang terjadi di Boyolali. Betapa banyak peternak sapi perah yang akhirnya menjerit dan menangis darah akibat kebijakan pemerintah ini.
Belum lagi kebijakan wajib pajak yang kian mencekik, mengakibatkan peternak harus gulung tikar. Sungguh kita dibuat geram dengan berbagai kebijakan pemerintah. Benar-benar menyesakkan dada. Apa sebenarnya maunya? Alih-alih menyejahterakan, justru memalak dan membunuh rakyatnya secara perlahan.
Wajah Kapitalisme
Sudah menjadi rahasia umum. Masyarakat pun sudah kian cerdas. Wajar jika muncul sebuah anggapan bahwa penguasa atau pemerintah ini bermental pengusaha. Berbagai macam kebijakan yang ditetapkan tak ubahnya dijadikan sebuah bisnis bajakan dalam rangka mencari yang namanya cuan untuk kepentingan segelintir orang dan golongan.
Begitulah wajah asli kapitalisme. Sebuah orientasi hidup yang menganggap bahwa sukses dan bahagia ketika mampu mendapatkan materi dan hal-hal yang bersifat duniawi.
Maka wajar jika kekuasaan yang dimiliki hanya untuk mengejar yang namanya cuan. Tidak lagi peduli dengan halal atau haram. Sehingga, demi untuk mendapatkan manfaat duniawi, akhirnya membuat kebijakan yang pro oligarki dan mengorbankan rakyat sendiri.
Kepemimpinan dalam Islam
Sangat berbeda dengan Islam. Pemimpin atau penguasa dalam Islam adalah junnah (pelindung) dan pelayan bagi rakyatnya. Melayani dan mengurusi segala urusan rakyatnya.
Setiap kebijakan yang dikeluarkan berdasarkan kepada syariat Islam. Ketakwaan dalam dirinya menjadikan tolok ukur dalam setiap perbuatannya adalah halal atau haram. Sangat takut kepada Allah SWT jika tidak menjalankan amanah sesuai dengan yang telah Allah dan Rasulullah SAW tetapkan. Karena yakin akan akhirat dan hari perhitungan.
Sebagaimana pada saat kepemimpinan Amirul Mukminin Umar Bin Khattab. Banyak diceritakan dalam berbagai kisah. Bahwa saat beliau menjabat, untuk memastikan keadaan rakyatnya, beliau rela berjalan di tengah malam. Ketika mendapati masih ada rakyatnya yang kelaparan, maka beliau rela memanggul gandum sendiri demi untuk mencukupi kebutuhan dan melayani rakyatnya.
Namun, kondisi yang demikian akan terwujud hanya dalam Islam yang diterapkan secara keseluruhan dalam bingkai sebuah negara yang disebut Khilafah Islamiyyah.
Wallahu A’lam Bish Shawab.*
Penulis adalah Pengasuh Kajian Mutiara Umat Batam