Catatan Cak AT – Ahmadie Thaha
SEBUAH video dari seorang kyai mencuri perhatian di TikTok @ngaji.ngabdii. Duduk tenang di kursi, di hadapan jamaah, sang kyai memberikan life hack sederhana untuk memilih di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Tak perlu survei panjang atau debat ngotot. Cukup baca doa pendek ini tiga kali: “Allahumma khir lana” (اللهم خر لنا).
Doa ini, menurut sang kyai, jalan gampang menuju pilihan yang berkah karena diridhai oleh Allah, Rasulullah, dan umat. “Pas nyoblos, bacalah doa ini tiga kali,” kata Gus Qayyum Lasem (KH. Abdul Qayyum Mansur). Kemudian, ia menambahkan, “Tak perlu memikirkan amplop berapa tebal. Kalau berdoa, Gusti Allah sendiri yang akan menggerakkan tanganmu untuk memilih yang terbaik.”
Di tengah suasana pemilu yang kadang lebih mirip bazar amal daripada pesta demokrasi, saran ini terdengar seperti angin segar. Tak perlu sibuk mencocokkan janji politik dengan kenyataan atau memperdebatkan apakah “serangan fajar” itu berkah atau musibah. Serahkan saja kepada Gusti Allah. Selesai perkara.
Namun, mari kita renungkan sejenak. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “khir”? Dalam bahasa Arab, kata ini punya sejarah panjang, penuh makna, dan, tentu saja, sangat fleksibel. Di dalam Al-Qur’an, akar kata ini muncul lebih dari 150 kali dalam berbagai bentuk derivasinya, termasuk di antaranya istikharah.
Secara harfiah, “khir” adalah kata kerja perintah, berasal dari akar kata kha’-ya’-ra’ (خير), yang artinya memilih atau membaik. Kata ini saudara dekat dari istikharah, shalat dan doa terkenal yang biasa dilakukan sebelum keputusan besar, seperti menikah atau membeli motor bekas. Melalui istikharah, kita akan mendapatkan pilihan yang terbimbing.
Tapi jangan keliru. Konsep memilih di sini bukan sekadar masalah pasrah total. Dalam tradisi Arab, memilih adalah proses aktif. Sama seperti memilih durian, Anda harus memeriksa baunya, mengetuk kulitnya, agar tidak kecewa saat mencicipi. Begitu pula saat memilih jodoh, selain melakukan istikharah, Anda perlu mengenal calon Anda.
Doa “Allahumma khir lana” mengandung permintaan agar Gusti Allah memilihkan sesuatu yang baik. Bukan asal baik, tapi baik menurut-Nya, Rasulullah, dan, tentu saja, umat. Dalam istilah pak kyai tadi, “Diridhai oleh Allah, Rasulullah, dan manusia, sehingga pilihan kita membawa berkah bagi agama, bangsa, dan negara.”
Apakah doa ini benar-benar sakti, atau ini sekadar upaya spiritualisasi politik? Realitas pemilu memang sering kali lebih kompleks. Ada uang haram di amplop yang bisa sangat menggiurkan. Janji politik lebih sering terdengar seperti dongeng pengantar tidur. Namun, doa ini menawarkan sesuatu yang berbeda: keikhlasan total.
Dengan kata lain, doa ini perlawanan spiritual terhadap korupsi hati, pikiran, dan, tentu saja, amplop. Tapi, mari jujur. Apa yang terjadi jika doa Anda “berhasil” tetapi hasilnya mengecewakan? Bagaimana jika pemimpin yang “baik” yang Anda pilih dengan berdoa ternyata tidak kompeten? Apakah ini tetap dianggap takdir Allah?
Di sini letak dilema pemilu: antara ikhtiyar dan intikhab. Anda sudah baca di kamus, pemilu disebut intikhab, bukan ikhtiyar. Ikhtiyar adalah memilih berdasarkan hati nurani dan kebaikan, sementara intikhab adalah pemilihan berbasis seleksi sosial-politik. Doa sang kyai lebih condong ke ikhtiyar, pilihan moral dan spiritual.
Tapi intikhab membutuhkan lebih dari sekadar doa. Ia menuntut penelitian, pengamatan, dan, tentu saja, kemampuan mengabaikan poster dengan desain norak. Jadi, tak cukup hanya berdoa. Seperti durian tadi, Anda tetap harus mengetuk dan mencium baunya. Doa tanpa usaha, akan sia-sia. Dan usaha tanpa doa, itu kesombongan.
Pesan sang kyai menyentuh satu hal yang sering kita lupakan: Pemilu adalah momen untuk mengingat Allah, bukan sekadar mencatat nama di TPS. Doa “Allahumma khir lana” mengajarkan kita untuk menggantungkan harapan pada-Nya, tapi juga mengingatkan bahwa harapan itu harus diiringi dengan usaha yang serius.
Jadi, saat Anda berdiri di bilik suara, peganglah paku itu dengan penuh keyakinan. Bacalah doa, hirup napas, lalu pilihlah. Bukan hanya yang tampak baik, tapi yang benar-benar baik. Dan jangan lupa, pastikan tinta di jari Anda tetap menempel sampai sore. Bukan untuk pamer, tapi mengingatkan diri sendiri bahwa Anda telah berusaha sebaik mungkin.*
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 27/11/2024
Penulis adalah Pendiri Republika Online 1995