Oleh Dr Aqua Dwipayana
SEORANG saudara saya cerita bahwa beberapa waktu lalu tiba-tiba dihubungi lewat WhatsApp (WA) oleh temannya. Setelah lama tidak mengontaknya.
Isi WA-nya standar, awalnya menanyakan kabar saudara saya itu. Setelah direspon, langsung menyampaikan permohonan pinjaman uang. Jumlahnya lumayan besar. Bisa untuk membeli dua sepeda motor.
Saudara saya tentunya kaget. Apalagi sudah lama tidak dikontak. Begitu mengontaknya langsung pinjam uang yang jumlahnya lumayan besar.
Apa responnya? Agar tidak menyakiti temannya itu, mengatakan tidak bisa membantu sebab saat yang bersamaan sedang membutuhkan dana yang besar.
Temannya tidak menyerah. Berusaha meminjam dengan mengajukan setengah dari yang dibutuhkannya. Saudara saya tetap pada pendiriannya, tidak memenuhinya.
Langsung Mengingatkan
Saat saudara itu cerita tentang hal tersebut, saya teringat kejadian sekitar 8 tahun lalu. Tiba-tiba teman saat SMP di Pematang Siantar, Sumatera Utara WA saya. Sekarang ia tinggal di Kalimantan.
Sebelumnya hampir tidak pernah menghubungi saya. Itu pun mengontak saat ia ada masalah, baik yang terkait keluarga maupun perusahaan tempatnya bekerja. Jika kondisinya sedang baik-baik saja, sama sekali tidak pernah menyapa saya, meski hanya sekedar basa-basi.
Teman tersebut beberapa kali melakukan hal itu. Saya jadi tahu persis tabiat dan kebiasaannya.
Awalnya teman itu menanyakan kabar saya. Kebiasaan standar saat berkomunikasi. Setelah itu baru menyampaikan permohonannya untuk pinjam uang. Jumlahnya sekitar 100 juta rupiah. Rencananya buat kebutuhan mendesak yang harus segera dibayarkannya.
Ketika itu saya langsung menelepon teman tersebut. Kemudian mengingatkan agar mengubah kebiasaannya. Jangan hanya ketika membutuhkan saja baru mengontak seseorang. Sementara saat tidak butuh, mengabaikannya.
Terkesan Memaksa
Kejadian seperti di atas, sering saya alami. Tiba-tiba dikontak saat ada yang membutuhkan bantuan. Bahkan sebagian di antaranya terkesan memaksa agar saya membantunya.
Mereka itu lupa atau pura-pura tidak ingat bahwa yang mereka lakukan tersebut tidaklah pas. Apalagi terkait dengan etika bersahabat.
Seharusnya setiap orang melaksanakan pesan semua agama. Berusaha secara maksimal untuk menjaga, memelihara, mengembangkan, dan meningkatkan silaturahim. Tidak hanya mengontak saat membutuhkan saja.
Banyak orang sikapnya instan. Tidak mau memelihara silaturahim karena menganggap merepotkan. Saat membutuhkan bantuan, baru mengontak orang yang diyakini bisa membantu.
Saya dan banyak orang pada umumnya tentunya merasa tidak nyaman dengan hal tersebut. Kesannya hanya dimanfaatkan saja. Mereka yang membutuhkan bantuan, bersikap baik dan mau mengontak karena ada maunya.
Belajar dari dua kejadian di atas, sebaiknya selalu memelihara hubungan baik dengan semua orang. Ada atau tidak ada kepentingan atau urusan, tetap menjalin komunikasi. Apalagi semua agama menganjurkan melaksanakan itu.
Dengan demikian saat sewaktu-waktu membutuhkan bantuan, jadi nyaman. Baik mengkomunikasikannya maupun respon yang bakal diterima. Komunikasi yang terjalin dengan baik membuat suasananya sama-sama enak.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Jadikanlah pelajaran berharga termasuk yang dialami orang lain.
Aamiin ya robbal aalamiin.
Saat sedang santai di Bogor saya ucapkan selamat berusaha secara optimal untuk selalu konsisten menjaga, memelihara, mengembangkan, dan meningkatkan silaturahim.
Salam hormat buat keluarga.
Bogor, 13.30 10112024
Penulis adalah Pakar Komunikasi dan Motivator Nasional