J5NEWSROOM.COM, Pihak berwenang dan pemerintah setempat telah berhasil menyelamatkan sekaligus memulangkan sejumlah WNI yang menjadi korban penipuan. Meski demikian, upaya ini belum sepenuhnya selesai karena masih terdapat puluhan korban lain yang terjebak di kompleks penipuan, di mana mereka dipaksa menjelajahi berbagai platform media sosial untuk mencari target.
Nanda, seorang pekerja di warung makan, mengungkapkan bahwa suaminya pergi ke Thailand pada pertengahan 2022 setelah tempat kerjanya bangkrut. Suaminya kemudian menerima tawaran pekerjaan di bidang TI dengan gaji Rp20 juta per bulan yang direkomendasikan oleh seorang teman.
Namun, setibanya di Bangkok, seorang agen asal Malaysia membawanya bersama lima orang lainnya melintasi perbatasan ke Kota Hpa Lu di Myanmar. Di sana, ia dipaksa bekerja di kompleks penipuan daring.
Dalam pekerjaannya, ia harus menjalani shift lebih dari 15 jam dan menghadapi ancaman hukuman serta pelecehan verbal apabila ketahuan tertidur saat bekerja.
“Dia menceritakan apa yang dialaminya — disetrum dan juga dipukuli — tetapi ia tidak merinci semuanya agar saya tidak terlalu cemas,” kata Nanda, yang kini berusia 46 tahun.
Menurut Nanda, suaminya dijual dan dipindahkan ke operasi penipuan lain awal tahun ini. Sama seperti Budi, suaminya hanya bisa menyampaikan kondisinya saat diizinkan menggunakan telepon.
Para korban harus menyerahkan ponsel mereka di awal hari kerja, sementara log panggilan dan pesan dipantau oleh para operator penipuan. Namun, komunikasi secara rahasia, terkadang dengan kode-kode singkat, menjadi petunjuk yang membantu kelompok aktivis dan pihak berwenang menemukan lokasi-lokasi kompleks penipuan dan menyelamatkan korban.
Tidak Manusiawi
Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri, lebih dari 4.700 WNI yang menjadi korban penipuan daring berhasil dipulangkan pemerintah sejak 2020 hingga September tahun ini. Mereka berasal dari berbagai negara, termasuk Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam.
Namun, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha, menyatakan masih ada setidaknya 90 WNI yang terjebak di jaringan penipuan sekitar Myawaddy, Myanmar. Ia juga menambahkan bahwa jumlah korban ini kemungkinan lebih besar dari yang tercatat.
Seorang ibu rumah tangga, yang suaminya masih terjebak di sindikat penipuan daring di Myanmar, mengaku sudah meminta bantuan pemerintah, tetapi hasilnya belum terlihat.
“Kondisinya sangat tidak manusiawi, bekerja selama 16 hingga 20 jam tanpa bayaran, disertai intimidasi dan hukuman,” ujar perempuan berusia 40 tahun itu yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Judha menekankan bahwa pemerintah hanya dapat bekerja sama dengan otoritas setempat karena tidak memiliki kewenangan untuk melakukan operasi di luar negeri. Ia juga menjelaskan bahwa konflik di wilayah Myawaddy membuat jaringan penipuan sulit dijangkau, sehingga memperlambat proses penyelamatan.
Pihak berwenang Kamboja telah berjanji akan bertindak tegas terhadap para operator penipuan tersebut. Namun, mereka juga meminta pemerintah negara lain untuk lebih aktif dalam menyebarkan kesadaran publik terkait bahaya penipuan ini.
“Jangan menunggu hingga ada masalah lalu saling menyalahkan. Itu bukan solusi,” kata Chou Bun Eng, Wakil Ketua Komite Nasional Anti-Perdagangan Manusia Kamboja, kepada AFP.
Ia menambahkan bahwa pemerintah Kamboja tidak akan membiarkan pelaku kejahatan bebas beroperasi dan menekankan pentingnya kerja sama internasional untuk menghentikan sindikat-sindikat ini. AFP tidak berhasil menghubungi juru bicara junta atau perwakilan Tentara Nasional Karen, milisi pendukung militer yang menguasai wilayah sekitar Hpa Lu, untuk mendapatkan tanggapan.
Perbudakan Modern
Pejabat PBB menyebut kondisi yang dialami korban penipuan ini sebagai “neraka.” Hanindha Kristy dari LSM Beranda Migran menjelaskan bahwa korban sering kali tidak memiliki pilihan selain bertahan di bawah tekanan berat. Ia juga menyebut pihaknya sering menerima permohonan bantuan dari korban WNI.
“Ini adalah bentuk perbudakan modern, di mana mereka direkrut dan ditipu untuk bekerja sebagai penipu,” ujarnya.
Budi, salah satu korban, berhasil melarikan diri setelah dipindahkan ke jaringan penipuan lain di Poipet, kota perbatasan Kamboja. Meski merasa bersyukur, ia masih dihantui rasa bersalah akibat keterlibatannya dalam penipuan tersebut.
“Rasa bersalah itu akan terus membayangi saya seumur hidup. Ketika kita merampas hak milik orang lain, rasanya seperti ada yang terus mengganjal di hati,” tuturnya.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah