Prabowo: Waspadai Kondisi Geopolitik dan Geoekonomi Global

Presiden Indonesia Prabowo dalam acara Penyerahan Secara Digital Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan Buku Alokasi Transfer ke Daerah (TKD) Tahun Anggaran 2025 di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/12). (Foto; Dok. Tim Media Presiden Prabowo Subianto)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pandangan bahwa dunia tengah menghadapi ketidakpastian akibat situasi geopolitik dan geoekonomi global yang diwarnai ketegangan, perang, dan persaingan negara-negara besar. Ketidakpastian ini turut memengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara besar, sehingga Prabowo mengingatkan Indonesia untuk tetap waspada.

Dalam acara penyerahan digital DIPA dan buku alokasi transfer ke daerah (TKD) 2025 di Istana Negara, Jakarta, ia menyatakan bahwa meskipun dunia dilanda gejolak, kondisi Indonesia relatif damai. APBN 2025 disusun untuk menjaga stabilitas, inklusivitas, dan keberlanjutan dengan pendekatan yang hati-hati dan terencana.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut APBN 2025 menargetkan pendapatan negara sebesar Rp3.005,1 triliun, dengan sektor perpajakan sebagai penyumbang terbesar (Rp2.490,9 triliun). Sementara belanja negara direncanakan mencapai Rp3.621,3 triliun, dengan defisit anggaran Rp616,2 triliun (2,53 persen dari PDB). Belanja pemerintah akan mendukung prioritas pembangunan, seperti pendidikan yang mendapatkan alokasi terbesar sebesar Rp724,3 triliun, kesehatan Rp218,5 triliun, perlindungan sosial Rp503,2 triliun, dan ketahanan pangan Rp144,6 triliun. Program makan bergizi gratis (MBG) dialokasikan anggaran sebesar Rp71 triliun dan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian desa, didukung dengan dana desa sebesar Rp70 triliun.

Ekonom Teuku Riefky dari LPEM FEB UI menilai bahwa banyak program pemerintah, termasuk MBG, belum memiliki detail implementasi yang jelas. Ia menyoroti isu utama seperti penurunan daya beli masyarakat, tingginya angka PHK, dan kurangnya penciptaan lapangan kerja. Riefky juga menyebut bahwa strategi pertumbuhan ekonomi belum cukup efektif untuk mencapai target delapan persen, sementara pertumbuhan lima persen saja semakin sulit tercapai.

Selain itu, klaim pemerintah bahwa kondisi ekonomi baik dianggap tidak sepenuhnya akurat. Riefky menyatakan bahwa surplus neraca perdagangan lebih banyak disebabkan oleh penurunan impor, bukan peningkatan ekspor. Hal ini dianggap berisiko karena penurunan impor bahan baku dan barang modal dapat menurunkan aktivitas produksi dalam negeri. Produktivitas yang menurun, kurangnya lapangan kerja, dan penurunan kesejahteraan masyarakat menjadi isu-isu yang mendesak untuk diatasi.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah