Tak Ada Kontribusi Ekonomi Bagi Daerah, DPRD Kepri Desak Tutup PT PJK di Pulau Bulan

Ketua DPRD Kepri, Iman Sutiawan (tengah). (Foto: Aldy/BTD)

J5NEWSROOM.COM, Batam – Keberadaan penangkaran buaya milik PT Perkasa Jagat Karunia (PJK) di Pulau Bulan, Batam, mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Selain menimbulkan kekhawatiran akibat puluhan buaya yang lepas, perusahaan milik Salim Group itu juga mendapat atensi serius dari DPRD Kepulauan Riau (Kepri). Yaitu, perusahaan tersebut tidak memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan bagi daerah.

Ketua DPRD Kepri, Iman Sutiawan, bersama anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Kepri, Endipat Wijaya, melakukan inspeksi langsung ke lokasi untuk meninjau kondisi penangkaran. Dari hasil kunjungan tersebut, mereka menilai bahwa lokasi tersebut lebih banyak membawa risiko yang merugikan masyarakat dibandingkan manfaat ekonomi.

“Penangkaran ini sudah beroperasi selama 36 tahun, tetapi kami tidak melihat adanya kontribusi nyata terhadap pendapatan daerah, baik dalam bentuk pajak maupun dampak ekonomi lainnya. Justru yang terjadi adalah insiden buaya lepas yang meresahkan masyarakat. Kami menyarankan agar operasionalnya dihentikan sementara,” kata Iman Sutiawan, Jumat (31/1/2025).

Dampak Ekonomi dan Ancaman bagi Nelayan

Kehadiran penangkaran buaya yang tidak terkelola dengan baik menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat pesisir, terutama nelayan. Setelah puluhan buaya dilaporkan lepas, banyak nelayan enggan melaut karena khawatir akan keselamatan mereka. Padahal, saat ini tengah berlangsung musim ikan dingkis yang menjadi sumber pendapatan utama masyarakat setempat.

“Biasanya pada musim seperti ini, nelayan aktif memasang perangkap ikan, tetapi sekarang mereka takut turun ke laut. Ini tentu berdampak pada perekonomian masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari hasil tangkapan,” ujar Safet, warga Pulau Buluh.

Nelayan juga meragukan keakuratan data mengenai jumlah buaya yang lepas. Berdasarkan hasil pengecekan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, sebanyak 39 ekor buaya dinyatakan keluar dari penangkaran, dan hingga kini 38 ekor telah berhasil ditangkap. Namun, nelayan khawatir jumlah sebenarnya lebih besar dari yang dilaporkan.

Desakan Audit dan Tanggung Jawab Perusahaan

Sementara itu, tokoh masyarakat Batam yang juga mantan anggota DPRD Kota Batam dan Provinsi Kepri, Yudi Kurnain kepada J5NEWSROOM.COM menegaskan perlunya audit investigasi menyeluruh terhadap penangkaran buaya tersebut.

“Masyarakat berhak tahu berapa pastinya jumlah buaya milik PT PJK yang lepas dari penangkaran di Pulau Bulan. Ini bukan masalah sepele atau bisa dianggap guyonan. Kasus ini serius dan berdampak luas,” ujar Yudi Kurnain.

Menurutnya, ada penjelasan bahwa buaya-buaya di Pulau Bulan merupakan bagian dari ekosistem peternakan babi yang dikelola oleh PT Indotirta Suaka, anak perusahaan Salim Group. Buaya-buaya tersebut dipelihara untuk memakan babi yang tidak layak ekspor. Namun, terlepas dari alasan tersebut, dampak dari lepasnya puluhan buaya harus diungkap secara transparan.

“Kita tidak tahu, dalam satu atau dua tahun ke depan, berapa jumlah populasi buaya liar yang merupakan keturunan dari buaya-buaya yang lepas ini. Ini bisa menjadi ancaman serius bagi masyarakat dan industri pariwisata kita,” tambahnya.

Sementara itu, Lurah Pulau Buluh, Arpin, meminta agar PT PJK bertanggung jawab atas insiden tersebut. Ia menegaskan bahwa lepasnya buaya dari penangkaran telah membuat warga resah, terutama mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan.

“Kami meminta perusahaan bertanggung jawab. Ini sudah sangat meresahkan. Kehidupan masyarakat terganggu karena dihantui teror buaya,” ujar Arpin.

Karena itulah, DPRD Kepri mendesak pemerintah daerah untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap PT PJK. Mereka meminta perusahaan memberikan laporan resmi dalam waktu satu minggu terkait langkah mitigasi dan pertanggungjawaban atas dampak yang ditimbulkan.

“Kami butuh kepastian dari perusahaan tentang bagaimana mereka akan menyelesaikan masalah ini. Jika memang tidak ada kontribusi ekonomi yang jelas dan hanya membawa risiko bagi masyarakat, maka lebih baik operasionalnya dihentikan,” tegas Iman Sutiawan.

Pemerintah daerah diharapkan segera mengambil langkah konkret demi keselamatan warga serta memastikan bahwa aktivitas usaha yang beroperasi di wilayahnya benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat.

Editor: Agung