
J5NEWSROOM.COM, Seiring perkembangan dunia yang semakin serbadigital, serbainternet, dan serbamedia sosial, ranah pendidikan pun mau tidak mau harus beradaptasi. Menjadi kreator konten merupakan peluang bagi guru untuk mengembangkan diri dan menyesuaikan dengan zaman, kata Gilang Danu Kurniawan, Social Media Specialist di Pusat Pengembangan Bisnis UIN Raden Intan, Lampung.
Di sisi lain, ia mencatat keresahan para guru saat melihat ananda mereka banyak menghabiskan waktu di media sosial seperti TikTok. Pasalnya, banyak konten yang tidak mendidik dan tidak sesuai dengan kebutuhan anak, bahkan lebih mengarah pada hiburan yang bisa berdampak negatif terhadap pola pikir dan kinerja mereka di sekolah. Oleh karena itu, menurutnya, para guru seharusnya ikut terlibat dalam perubahan ini dengan menciptakan konten yang lebih edukatif.
Hal ini diamini oleh Kristiawati, seorang guru sekaligus kreator konten yang memulainya sejak masa pandemi. Kala itu, ia prihatin melihat ananda lebih sering menggunakan gawai untuk hiburan dibandingkan pembelajaran. Dengan membuat konten edukatif, ia berharap ananda tetap bisa mendapatkan manfaat meskipun hanya menonton beberapa detik.
Sebagai guru di SD Negeri 2 Bejiarum, Wonosobo, Kristiawati juga ingin berbagi pengalaman dengan rekan-rekan sejawat agar lebih banyak guru yang terinspirasi untuk membuat konten positif. Peraih gelar Guru Inspiratif Nasional 2023 ini awalnya mengunggah konten di YouTube, kemudian merambah Instagram dan TikTok. Kanal YouTube-nya lebih berfokus pada membantu guru, terutama yang sedang mengikuti seleksi CPNS. Sementara itu, di Instagram ia berbagi metode pembelajaran bagi guru dan orang tua dengan harapan mereka dapat menerapkannya dengan mudah.
Ratih Ayu Apsari, dosen pascasarjana di University of California, Berkeley, menilai bahwa menyebarkan ilmu lewat media sosial adalah langkah yang baik asalkan materi dan cara penyampaiannya tepat. Ia mengingatkan bahwa pembuatan konten edukatif membutuhkan persiapan matang agar tidak mengganggu hak belajar ananda di kelas. Selain itu, jika melibatkan ananda dalam konten, maka perlu memastikan kehormatan mereka tetap terjaga dengan izin dari orang tua maupun anak yang bersangkutan.
Di sisi lain, Rachel Waldrop, seorang guru di Denham Springs High School, Louisiana, menilai bahwa guru yang menjadi kreator konten memang berpotensi mendapatkan penghasilan tambahan. Namun, ia mengingatkan agar guru berhati-hati dalam menggunakan media sosial, terutama dalam merekam atau menampilkan ananda di sekolah. Ia lebih menyarankan konten edukatif seperti manajemen kelas, aktivitas pembelajaran, serta tips untuk guru pemula.
Kristiawati sendiri mengaku tidak mendapat pelatihan formal dalam membuat konten karena masih berfokus mengajar di kelas. Namun, ia aktif mengikuti berbagai workshop untuk meningkatkan keterampilannya. Hal serupa juga diakui oleh Gilang, yang mengatakan bahwa sebagian besar pelatihan pembuatan konten bagi guru dilakukan secara nonformal, seperti melalui komunitas WISE Pendidikan Indonesia dan program Guru Konten Kreator (GKK) dari Kemendikbud Ristek. Sayangnya, menurutnya, program ini belum merata karena hanya diikuti oleh guru-guru yang sudah dikenal luas.
Gilang awalnya pesimistis bahwa banyak guru yang bersedia menjadi kreator konten, terutama yang berusia di atas 40 tahun. Namun, setelah sering menjadi pemateri dalam pelatihan pembuatan konten, ia melihat antusiasme yang tinggi. Bahkan, banyak guru berusia 40 hingga 50 tahun yang mampu membuat konten dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa guru di Indonesia memiliki semangat sebagai pembelajar sepanjang hayat.
Menjadi kreator konten membuka banyak peluang bagi guru, mulai dari dikenal lebih luas, diundang sebagai pembicara dalam seminar, hingga mendapatkan penghasilan tambahan melalui kerja sama dengan berbagai pihak. Kristiawati mencontohkan bahwa dirinya kini sering diundang mengisi webinar dan workshop, serta memiliki kesempatan untuk membuka bimbingan belajar.
Meski penghasilan sebagai kreator konten bisa lebih besar dibandingkan gaji guru, tidak sedikit yang tetap memilih profesi pendidik. Gilang berpendapat bahwa menjadi guru adalah panggilan jiwa, sehingga meskipun ada yang beralih sepenuhnya menjadi kreator konten, mereka tetap memiliki jiwa pendidik yang bertanggung jawab atas konten-konten positif yang dibuatnya.
Bagi Kristiawati, kebahagiaan terbesar dalam menjadi kreator konten adalah ketika kontennya bermanfaat bagi sesama guru dan dapat diterapkan di tempat lain. Ia tetap mengutamakan profesinya sebagai guru karena menyadari bahwa keberhasilannya saat ini berawal dari profesinya sebagai pendidik.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Agung