
J5NEWSROOM.COM, Dalam dunia usaha yang terus berkembang, pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) kini tak lagi dianggap sebagai pilihan tambahan. CSR telah berkembang menjadi kebutuhan strategis yang menyentuh sisi moral, etis, dan legitimasi publik atas keberadaan suatu perusahaan. Gagasan ini menjadi benang merah dalam pemaparan Eduard Depari, pengamat komunikasi korporat dan etika bisnis, dalam sesi pelatihan CSR pada 30 April 2025.
Eduard menegaskan bahwa CSR tidak cukup dipahami hanya sebagai kegiatan filantropi atau kedekatan dengan masyarakat sekitar lokasi usaha. Menurutnya, program CSR yang ideal adalah yang menjadi bagian dari perencanaan bisnis dan dijalankan secara berkesinambungan. Ia menyebut, “CSR bukan sekadar memberi bantuan atau menjalin hubungan dengan warga sekitar. CSR adalah bagian dari strategi usaha yang berkelanjutan.”
Berdasarkan model tanggung jawab sosial yang dikembangkan oleh Archie Carroll, Eduard menjelaskan bahwa tanggung jawab perusahaan dibagi menjadi empat level. Dimulai dari tanggung jawab ekonomi untuk menciptakan keuntungan dan pelanggan, diikuti kewajiban hukum seperti membayar pajak dan mematuhi peraturan. Selanjutnya adalah tanggung jawab etika, yang merujuk pada norma sosial, dan terakhir adalah tanggung jawab sosial sukarela yang dilakukan dengan penuh kesadaran demi kebaikan bersama. “Sulit berharap perusahaan menjalankan tanggung jawab sosial jika belum stabil secara ekonomi. Namun, hanya mengejar keuntungan pun tidak cukup untuk membangun keberlanjutan,” ujarnya.
Eduard juga menekankan pentingnya konsep triple bottom line dalam CSR, yakni menyeimbangkan antara laba, masyarakat, dan lingkungan. Ia menegaskan bahwa kegiatan CSR tidak selalu harus berkaitan langsung dengan inti bisnis. Bahkan, jika tidak disampaikan dengan strategi komunikasi yang tepat, bisa menimbulkan kesan bahwa CSR hanyalah upaya promosi terselubung. Ia mencontohkan bagaimana PT Aqua Golden Mississippi melakukan kegiatan CSR dengan membangun sumur di daerah NTT yang tidak masuk dalam wilayah pasarnya. “Inilah bentuk CSR yang tulus,” jelasnya.
Dalam materinya yang lain, Eduard mengutip pernyataan Arthur W. Page yang menyebut bahwa bisnis di negara demokratis hanya bisa beroperasi atas persetujuan publik, bukan semata-mata karena izin dari pemerintah. “Kalau memang bisnis berjalan karena persetujuan masyarakat, maka sudah semestinya mereka terbuka pada publik. Itu bukan sekadar pilihan, tapi tanggung jawab,” tegasnya.
Ia juga menyoroti peran etika dalam praktik CSR. Dalam pendekatan deontologis, yang dinilai bukan hanya hasil akhirnya, melainkan niat baik dan prinsip moral yang melatarbelakangi kegiatan tersebut. “Keuntungan yang diraih perusahaan bersumber dari dukungan masyarakat. Maka, perusahaan memiliki kewajiban moral untuk memberi kembali,” tutur Eduard.
Terkait peran media, Eduard menjelaskan bahwa jurnalis memiliki peran penting dalam mendorong praktik CSR yang berkualitas. Jurnalis tidak hanya menyampaikan informasi, tapi juga bisa menjadi penggerak untuk mendorong perusahaan lain ikut menjalankan CSR. “Pers harus bisa menyajikan berita CSR secara kritis dan membangun, serta menghindari praktik pemberitaan yang hanya menguntungkan citra perusahaan semata,” jelasnya saat menyampaikan materi CSR Training 2025.
Ia menambahkan, media harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam pencitraan berlebihan atau green washing. Pemberitaan harus bersih dari kepentingan sponsor dan tetap menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Eduard menutup dengan pesan kuat bahwa CSR bukan hanya soal citra, tetapi tentang kontribusi nyata yang mencerminkan kepedulian dan tanggung jawab sosial. “CSR adalah soal melakukan yang benar, bukan soal pencitraan,” pungkasnya.
Editor: Agung

