Menjaga Warisan, Merawat Alam: Inisiatif Rumah Batik TBIG Olah Limbah Batik dengan Sistem IPAL

Head of CSR Department PT Tower Bersama Infrastructure Tbk, Fahmi Sutan Alatas. (Foto: Alia Safira)

J5NEWSROOM.COM, Pekalongan – Di balik indahnya motif batik yang menjadi kebanggaan Indonesia, tersimpan tantangan besar yang kerap tak terlihat: limbah cair hasil pewarnaan. Limbah inilah yang selama ini menjadi masalah tersendiri bagi para pengrajin batik, terutama dalam hal pengelolaannya. Namun, secercah harapan datang dari Rumah Batik TBIG yang memelopori langkah nyata lewat sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Fahmi S Alatas, tokoh muda di balik Rumah Batik TBIG, menjelaskan bahwa sistem IPAL ini dirancang sebagai solusi berkelanjutan untuk mengatasi limbah batik yang berpotensi mencemari lingkungan. Di tengah lebih dari 300 pengrajin batik di bawah naungan Koperasi Bangun Bersama, belum satu pun yang menerapkan sistem IPAL. Baru pagi tadi, satu pengrajin mengabari bahwa ia telah sepakat untuk mulai membangun IPAL di tempatnya.

“Ini langkah awal yang sangat berarti,” kata Fahmi. “Selama ini limbah batik hanya dibuang begitu saja. Padahal kita punya tanggung jawab tidak hanya menjaga budaya, tapi juga lingkungan.”

Sistem IPAL yang dikembangkan Rumah Batik TBIG dimulai dari pengumpulan air bekas cat batik di dalam wadah penyimpanan. Ketika wadah tersebut penuh, sistem otomatis akan mengaktifkan mesin untuk memulai proses filtrasi. Aliran air pertama akan melewati media ijuk dan batu split. Setelah itu, air diarahkan menuju tahap berikutnya, yaitu ijuk yang dikombinasikan dengan arang aktif. Proses ini dilakukan dua kali untuk memastikan penyaringan maksimal.

Denah Sistem Pengolahan Limbah Batik oleh Rumah Batik TBIG

Tak berhenti di situ, air kemudian melewati batu ziolit, batu mineral yang dikenal mampu menyerap zat-zat berbahaya. Dari sana, air mengalir ke kolam kecil yang terletak di sisi batu ziolit tersebut. Kolam inilah yang menjadi titik uji kelayakan.

“Air hasil olahan ini tidak serta-merta dialirkan ke tanah atau sungai,” jelas Fahmi. “Kami melakukan uji coba terlebih dahulu dengan menempatkan ikan di kolam tersebut. Jika ikan tidak bertahan hidup, maka proses harus diulang.”

Prosedur ini menjadi bentuk kepedulian rumah batik terhadap dampak lingkungan dari kegiatan produksi. IPAL bukan hanya soal teknologi, tapi tentang komitmen menjaga keseimbangan antara pelestarian budaya dan perlindungan alam.

Fahmi berharap sistem IPAL ini bisa menjadi contoh nyata dan inspirasi bagi para pengrajin lainnya agar mulai memikirkan pengelolaan limbah secara bertanggung jawab. Sebab membatik sejatinya tak hanya soal motif yang indah, tetapi juga harmoni antara manusia, budaya, dan lingkungan.

Editor: Agung