
J5NEWSROOM.COM, Pekalongan – Di sebuah rumah batik sederhana di Jalan K.H. Samanhudi, aroma malam dan warna-warna khas batik menguar di antara tumpukan kain. Dari balik kesibukan itu, Latifa, perempuan 54 tahun asal Pekalongan, menjadi penjaga nyala warisan keluarganya yang tak pernah padam. Ia menjalankan Zumi Batik, usaha batik cap yang telah bertahan lintas generasi dan kini menjadi sumber penghidupan bagi banyak orang di sekitarnya.
Latifa adalah generasi ketiga dalam keluarga pembatik. Sejak muda ia sudah terbiasa melihat aktivitas membatik di rumah. Namun awalnya, ia hanya bertugas menjual hasil batik buatan keluarganya. Tahun 1990 menjadi titik balik ketika ia mulai terjun langsung mengelola usaha batik ini, perlahan memahami proses produksi dan memimpin jalannya bisnis secara menyeluruh.
Produsen Daster dan Batik Cap
Kini, Zumi Batik dikenal sebagai produsen daster dan gamis batik cap, dengan sistem produksi berdasarkan pesanan. Proses pembatikan dilakukan oleh sekitar 27 karyawan di pabrik, sementara proses penjahitan dikerjakan oleh tiga vendor yang secara keseluruhan memiliki sekitar sepuluh pekerja. Dalam sepekan, Zumi Batik mampu menghasilkan sekitar 20 hingga 25 kodi daster dan gamis batik yang siap dijual. Sebagian besar hasil produksinya dikirim ke Jakarta, Solo, dan beberapa kota lainnya lewat pembeli yang datang langsung ke lokasi.

Dua dari lima anak Latifa kini ikut terlibat dalam usaha ini. Anak keduanya, Boy Krisna, 29 tahun, fokus pada pemasaran dan mencari pembeli, sementara satu anak lainnya menangani bagian keuangan. Latifa merasa lega dan bangga karena warisan dari mbah kakung-nya tak berhenti di dirinya. “Senang rasanya melihat mereka mulai paham, ikut terlibat. Saya tidak mau usaha ini berhenti di saya,” ujarnya.
Namun perjalanan ini tak selalu mulus. Banjir rob kerap kali menjadi momok. “Waktu rob datang, saya nggak bisa produksi. Air masuk sampai ke dalam. Bapak bapak yang kerja juga nggak bisa datang. Rugi bisa sampai puluhan juta,” kenangnya lirih.
Musim hujan pun menyisakan kesulitan tersendiri. Proses menjemur kain tak bisa dilakukan, padahal itu menjadi tahap penting agar warna cap keluar dengan baik. “Kalau hujan terus, kain nggak bisa dijemur. Warna cap-nya nggak keluar. Jadi harus nunggu panas. Kadang seminggu cuma bisa nunggu langit cerah,” ucapnya sambil mengenang masa sedih itu.

Jiwa Penggerak Zumi Batik
Meski tak turun langsung membuat batik, Latifa tetap menjadi jiwa penggerak di balik Zumi Batik. Ia memastikan ritme usaha terus berjalan, dari manajemen hingga distribusi, sambil tetap membuka ruang kerja bagi masyarakat sekitar.
“Kalau lihat anak-anak ikut bantu, pekerja bisa bawa pulang uang, rasanya cukup. Itu kebahagiaan buat saya.”
Zumi Batik bukan hanya tempat produksi. Ia adalah rumah dari ketekunan, harapan, dan cinta yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam setiap motif yang ter-cap, tersimpan jejak tangan-tangan yang bekerja dengan sepenuh hati, di bawah langit Pekalongan yang penuh cerita.
Editor: Agung

