Film Kartun Anomali Menghancurkan Generasi Muda

Siswi MAN 1 Kota Batam Naila Ahmad Farah Adiba. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh: Naila Ahmad Farah Adiba

PADA era digitalisasi saat ini, banyak kita dapati berbagai hal yang sudah mulai dinormalisasi. Mulai dari tayangan yang memiliki unsur pornografi maupun pornoaksi, gosip-gosip selebriti, bahkan hingga tayangan kartun yang bersifat aneh alias anomali.

Mirisnya, tayangan tidak pantas tersebut dikonsumsi atau disaksikan oleh anak-anak yang dimana masa mereka adalah masa-masa emas alias golden age. Parahnya lagi, yang mendorong mereka untuk menyaksikan tontonan tersebut adalah orang tua yang seharusnya menjadi pendidik. Namun pada kenyataannya malah menjadi perusak utama dari masa depan anak-anak itu.

Hal ini terjadi ditengarai oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah sebagaimana yang telah dijelaskan di atas yakni arus digitalisasi yang semakin kuat dan ganas. Belum lagi ditambah dengan pemikiran anak-anak yang belum memahami secara sempurna bagaimana dampak dan bahaya yang dikeluarkan oleh teknologi tersebut.

Orang tua yang seharusnya menjadi pendidik utama bagi anak-anaknya juga disibukkan dengan pekerjaan. Sehingga ketika orang tua sudah lelah bekerja, ketika pulang ke rumah, ia tidak akan sempat untuk membersamai anak-anaknya, bahkan hanya untuk sekadar duduk bersama.

Setuju atau tidak setuju, waktu orang tua yang sudah penuh dengan pekerjaan ini merupakan dampak dari diterapkannya sistem kapitalisme. Dimana standar kebahagiaan dan kesuksesan itu hanya berasaskan materi atau harta semata.

Sehingga banyak orang berbondong-bondong untuk mencapai standar kesuksesan tersebut sampai lupa bahwa ia memiliki amanah yang tak kalah besarnya, yakni mendidik anak-anaknya agar menjadi generasi yang bisa bermanfaat untuk agama.

Standar kesuksesan ini juga diperparah dengan kondisi ekonomi yang semakin hari semakin sulit. Orang tua ibarat memakan buah simalakama. Dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama sulit. Ditambah dengan pemahaman agama yang kurang, sukses menjadikan para orang tua abai akan tumbuh kembang anaknya.

Sehingga anak hanya diserahkan kepada asisten rumah tangga atau diberikan smartphone agar diam dan tidak mengganggu pekerjaannya. Padahal sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa smartphone memiliki dua sisi, baik dan buruk. Tergantung dengan penggunanya.

Maka, untuk menyelesaikan permasalahan ini, setidaknya ada tiga aspek yang harus diperbaiki. Yang pertama adalah individu. Perdalam ilmu agama. Ingat, agama di sini bukan hanya sekadar mengatur ibadah ritual semata, tapi juga mengatur segala urusan kehidupan.

Jangan membangun sebuah keluarga dengan tidak memiliki bekal untuk mengarunginya. Cari pasangan yang memiliki satu visi, misi, dan tujuan, serta standar nya merupakan standar yang telah Allah tentukan.

Kemudian yang kedua, bagi yang telah memiliki keluarga, tidak ada kata terlambat, belajarlah agar keluarga kita menjadi keluarga yang mampu menjadi keluarga yang seharusnya. Didik anak-anak dengan baik. Sehingga kelak, anak-anak tersebut bukan hanya menjadi beban, tapi juga agen perubahan. Karena keluarga adalah benteng perlindungan terakhir bagi anggotanya.

Lalu yang tak kalah penting juga adalah negara yang menerapkan syariat Islam secara paripurna. Dalam kitab Nidzomul Islam bab Qiyadah Fikriyah, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan, sebuah negara bisa dikatakan sebagai negara Islam jika lima aspek ini sudah menggunakan syariat Islam.

Yakni menggunakan syariat Islam dalam aspek interaksi, kemudian ekonomi, pendidikan, politik luar negeri dan juga hukum. Jika salah satunya belum terpenuhi maka negara tersebut belum layak dikatakan sebagai negara Islam.

Oleh karenanya, perjuangan dan dakwah ini tidak boleh berhenti. Terus lantangkan suara baik di kehidupan nyata maupun di sosial media. Karena kehidupan generasi hanya terjamin di bawah naungan negara yang menjadikan syariat Islam sebagai landasan dalam bernegara.

Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis adalah Siswi MAN 1 Kota Batam