Kalbar, Terdepan Tolak Program Transmigrasi

Ilustrasi Transmigrasi. (Foto: Ist)

J5NEWSROOM.COM, Pontianak – Matahari belum lagi tinggi, tapi jalan-jalan ibukota Kalimantan Barat sudah bergemuruh. Bukan karena parade budaya, bukan pula karena diskon elektronik, melainkan karena ledakan suara rakyat yang muak dan menggelegak seperti sambal bawang basi yang dipanaskan ulang di wajan politik. Ribuan massa dari Aliansi Kalimantan Barat Menggugat menyerbu tiga titik panas, Gedung DPRD, Kantor Gubernur, dan Markas Polda. Mereka datang bukan bawa bom molotov, tapi lebih berbahaya dari itu, tuntutan delapan pasal plus satu dendam sejarah.

Bayangkan, wak! Ketungau Hulu, Sekayam, Gerbang Masperkasa, dan Rasau Jaya. Empat kawasan yang dulu hanya dikenal dari lirik lagu anak desa, kini hendak dijadikan taman bermain proyek nasional. Skema transmigrasi 5T, yang katanya singkatan dari Terpadu, Terencana, Terarah, Tertib, dan Terlalu Banyak Masalah, diluncurkan seperti kembang api. Sayangnya, yang meledak bukan kembang, tapi kepercayaan publik.

Di Desa Upit, Kecamatan Belimbing, listrik menyala dengan gagah di zona transmigran, sementara warga lokal yang hanya satu kilometer jauhnya masih menyalakan pelita, seolah hidup dalam dimensi paralel yang dicetak dengan tinta keadilan luntur. “Kami ini penduduk asli, bukan arwah penasaran,” ungkap Koordinator aksi, Endro Ronianus saat berorasi di depan gedung DPRD Kalbar.

Ketua DPRD Kalbar, Aloysius, mencoba menjadi Socrates dalam keadaan darurat. “Kita tak boleh memindahkan masalah,” katanya, padahal jelas-jelas selama ini Kalbar sudah menerima segala jenis kiriman, dari kabut asap sampai proyek gagal. Mungkin yang ia maksud, cukup sudah jadi tong sampah elegan. Karena yang datang bukan hanya transmigran, tapi juga racun birokrasi, kecemburuan sosial, dan konsorsium ketidaktahuan kolektif.

Di tempat lain, Bupati Kubu Raya, Sujiwo, tampil dengan gaya Gandalf, berwibawa, penuh misteri, dan tak bisa dibantah. Ia berkata bahwa transmigrasi ini bukan mobilisasi, tapi “penguatan kawasan.” Apa itu artinya? Tak ada yang benar-benar tahu. Seperti puisi Chairil Anwar yang dibaca di tengah hujan deras, kedengaran indah, tapi basah dan tak terbaca. Ia menyebut ada pembangunan SD, SMP, UMKM, protowar (warung rakyat), bahkan stadion mini. Stadion? Untuk siapa? Mungkin untuk pertandingan antara logika dan propaganda.

Rakyat bertanya, kalau bukan pemindahan penduduk, kenapa yang datang justru manusia? Kalau ini bukan kolonisasi gaya baru, kenapa tanah adat diukur seperti halaman rumah milik developer? Kenapa di brosur berwarna pembangunan semuanya indah, tapi di lapangan yang tumbuh justru pagar-pagar seng dan jerit peladang?

Seruan “Kalbar bukan tanah kosong, Merdeka!” menggema bukan seperti slogan, tapi doa kolektif yang lahir dari trauma panjang. Mereka bukan anti pembangunan. Mereka anti dipermainkan. Karena di tanah ini, kearifan tak dibangun dengan masterplan, tapi dengan keringat, adat, dan pohon-pohon yang tak pernah ikut rapat dengan kementerian.

Hari ini, rakyat Kalbar berdiri bukan sebagai bayangan pembangunan, tapi sebagai penjaga halaman terakhir dari naskah yang selalu di-edit seenaknya oleh Jakarta. Jika transmigrasi tetap dipaksakan, jangan salahkan bila kelak tanah ini tak hanya menolak, tapi menggugat balik. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan satu hal yang lebih menakutkan bagi birokrat, kesadaran kolektif.

Aksi ini adalah perlawanan terhadap narasi pembangunan yang sering kali copy-paste dari era Orde Baru. Bedanya, sekarang lebih estetik, ada infografis, ada drone, ada TikTok. Tapi substansinya tetap, rakyat adalah penonton dari proyek-proyek besar yang namanya panjang, dampaknya pendek, dan manfaatnya hanya selebar spanduk launching.

Sejauh ini belum ada sikap pemerintah pusat. Apakah tetap melanjutkan transmigrasi, atau mensetopnya.

#camanewak

Penulis adalah Ketua Satupena Kalbar