
Oleh Rosadi Jamani
DULU saya maniak nonton bulutangkis. Setiap ada kejuaraan dunia, tak pernah absen. Selalu ada pemain kita yang juara. Belakangan, kejuaraan demi kejuaraan lewat, hasilnya zonk. Saya dan penggemar tepuk bulu juga udah malas nonton. Pasti muncul berita “pulang tanpa gelar.”
Namun, sinar juara datang lagi. Di tanah pebulutangkis terkuat dunia, China Open, pasangan dadakan, Fajar/Fikir mempersembahkan juara. Serasa mimpi. Mari kita ulas sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Ada masa ketika menonton bulutangkis Indonesia itu seperti ibadah. Penuh semangat, khusyuk, dan bikin jantung deg-degan lebih dari lihat saldo akhir bulan. Tapi belakangan, semua berubah. Turnamen demi turnamen dilewati seperti adegan déjà vu, menang satu babak, pulang tiga. Shuttlecock lebih sering nyangkut di net dari harapan kita nyangkut di kenyataan. Yang dulu kita tonton dengan harapan, kini kita tonton dengan ikhlas.
Namun semesta kadang iseng. Saat semua merasa gelar hanyalah mitos dan semifinal hanya ada di dongeng, datanglah dua pendekar dadakan dari pelatnas, Fajar Alfian dan Muhammad Shohibul Fikri. Bukan, ini bukan pasangan sah. Mereka seperti duet mendadak di acara nikahan, dikawinkan karena “yang satu lagi lagi sakit.” Tapi justru dari eksperimen penuh nekat ini, lahirlah kisah cinta baru, antara penonton dan bulutangkis.
Ketika mereka masuk lapangan final China Open 2025, semua sudah bersiap untuk skenario klasik, kalah tipis, salah strategi, lalu wawancara menyentuh. Tapi Fajar dan Fikri tidak membaca naskah itu. Mereka bakar naskahnya. Mereka tulis ulang kisahnya. Gim pertama? Langsung tancap gas seperti tukang bakso dikejar hujan. Skor 11-2! Bahkan komentator sampai kehabisan sinonim untuk kata “dominasi.”
Fajar seperti dijiwai roh petir. Smash-nya membelah waktu, mengganggu sinyal WiFi, dan bikin Aaron/Soh terlihat seperti murid baru ikut ekskul. Di sisi lain, Fikri bergerak seperti siluman shuttlecock. Dropshot-nya mengandung niat baik tapi berakhir menyakitkan. Mereka bukan sekadar main bagus, mereka menari di atas reruntuhan ranking dan prediksi.
Gim kedua dimulai dan Malaysia mencoba bangkit. Tapi sama saja. Unforced error berserakan seperti kenangan mantan yang tak ingin dikenang. Shuttlecock mereka nyangkut, meleset, salah arah, persis seperti arah karier penonton yang pernah bercita-cita jadi atlet tapi malah jadi admin.
Saat angka 21-14 menghantam papan skor, lapangan Changzhou berubah jadi panggung sejarah. Fajar dan Fikri langsung joget. Bukan joget biasa, tapi tarian sakral pelepas kutukan. Di balik gerakan kocak itu, ada energi dari jutaan rakyat yang selama ini hanya bisa bilang, “Ah sudahlah, kalah lagi.”
Ajaibnya, mereka jadi satu-satunya wakil Indonesia yang berhasil bawa pulang gelar dari negeri tirai shuttlecock. China boleh pesta pora ambil semua gelar lain, tapi kita, kita punya emas di ganda putra. Kita punya alasan untuk percaya lagi.
Kini, para pecinta bulutangkis bangkit dari kubur kekecewaan. Kita hidup lagi. Kita bersorak bukan karena euforia semata, tapi karena akhirnya, kita sadar, bulutangkis belum mati. Cintanya cuma tertidur. Fajar-Fikri-lah alarmnya.
Wahai nuan yang dulu rela begadang demi menonton Taufik Hidayat menolak shuttlecock seperti menolak ajakan mantan, kini saatnya ente kembali. Wahai aa dan teteh yang sempat pasrah dan hanya menonton Korea Selatan demi oppa-oppa smash keras, ingatlah, kita masih punya Fajar dan Fikri.
Kemenangan ini bukan sekadar skor 21-14. Ini adalah 21 detik harapan yang hidup kembali. Ini adalah 14 alasan kenapa kita tak boleh berhenti cinta pada bulutangkis. Karena kadang, ketika semua terasa gelap, cukup satu smash yang tepat untuk menyalakan api semangat seluruh bangsa.
Siapa tahu, di turnamen berikutnya… kita bisa curi dua gelar? Atau tiga? Atau ya sudahlah, satu pun cukup, asal jangan pulang tanpa apa-apa. Hidup bulutangkis! Hidup joget kemenangan! Hidup duet eksperimen yang ternyata lebih stabil dari hubungan kita dengan masa lalu.
#camanewak
Penulis adalah Ketua Satupena Kalbar

