Negeri Ini Lebih Tertarik ‘Urusi’ Rekening Nganggur daripada Pengangguran

Sebuah video antrian panjang pelamar kerja di salah satu warung seblak yang diduga terjadi di Cimahi, Jawa Barat viral di media sosial. Tak hanya wanita para laki-laki pun ikut mencari peruntungan. (Foto: [email protected])

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Di negeri ini, sesuatu yang tak bergerak terkadang lebih mencemaskan negara dibandingkan yang bergerak. Rekening yang tak menunjukkan aktivitas selama tiga bulan kini diperlakukan seperti ruang gelap yang mencurigakan: dibekukan, ditandai, bahkan dianggap berbahaya bagi sistem.

Sementara itu, jutaan manusia dengan detak jantung yang nyata, yang setiap hari merayap mencari pekerjaan dan menanggung penolakan demi penolakan, tak juga dianggap sebagai prioritas. Mereka tak dibekukan, memang. Tapi juga tak disentuh.

Satire ini ramai di media sosial:

“Rekening nganggur 3 bulan diblokir negara… Tanah nganggur 2 tahun disita negara… Kamu nganggur bertahun-tahun, negara tidak peduli.”

Kalimat yang sekilas lucu ini sesungguhnya adalah bentuk frustrasi. Sebuah pengingat bahwa negara kini tampak lebih sigap membekukan saldo daripada menyapa warganya yang kehilangan penghasilan.

Mari kita mulai dari fakta. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sepanjang 2024, ada lebih dari 28.000 rekening pasif yang digunakan untuk aktivitas ilegal: mulai dari judi online, perdagangan narkoba, hingga penipuan lintas negara. Dana mencurigakan yang terlibat mencapai lebih dari Rp 4,2 triliun.

Dalam konteks ini, tindakan PPATK untuk memblokir rekening memang bisa dipahami. Ibarat rumah kosong yang rawan dibobol, rekening tak aktif bisa menjadi alat sindikat kriminal. Namun, publik tetap bertanya-tanya:

Mengapa tidak ada peringatan sebelumnya?

Mengapa diam langsung dianggap bersalah?

Privasi yang Mulai Runtuh

Kekhawatiran masyarakat bukan hanya soal keamanan, tetapi juga soal batas:

Apakah negara kini menyelinap terlalu jauh ke dalam ruang privat warganya atas nama perlindungan?

Rekening pasif bisa jadi milik petani yang menabung setelah panen, pensiunan yang jarang mengakses ATM, atau mahasiswa yang lupa bahwa ia masih memiliki rekening aktif. Mereka tidak menyembunyikan kejahatan—mereka hanya tidak aktif.

Namun dalam sistem hari ini, yang tidak aktif pun bisa kehilangan haknya. Kita seolah memasuki era baru: era algoritma pengawasan. Kekuasaan tidak lagi mencambuk tubuh, melainkan memantau perilaku: dari saldo yang diam hingga belanja yang tidak sesuai pola.

Ketika negara masuk terlalu dalam, tanpa edukasi dan tanpa dialog, kepercayaan bisa berubah menjadi ketakutan. Dan ketakutan adalah lahan subur bagi kontrol yang berlebihan.

Di negara-negara lain:

Jepang menetapkan rekening dormant sebagai unclaimed assets setelah lima tahun tidak aktif—dengan pemberitahuan bertahap dan perlindungan hukum.

Inggris menjalankan Dormant Accounts Scheme, di mana dana pasif dialihkan untuk kegiatan sosial, bukan langsung dibekukan.

Indonesia?

Tiga bulan saja tak digunakan, rekening bisa dibekukan. Tanpa edukasi. Tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Padahal survei OJK (2023) menunjukkan, hanya 49,68 persen masyarakat yang memiliki pemahaman dasar soal keuangan digital.

Bagaimana dengan Pengangguran?

Kita cepat mengatur saldo menganggur, tapi lambat menangani manusia yang menganggur.

Data BPS Februari 2024 menunjukkan:

7,2 juta pengangguran terbuka

Lebih dari 15 juta jika termasuk pekerja informal dan yang tak sesuai kompetensi

Negara tidak memblokir mereka. Tidak mengirim surat peringatan. Tidak menanyakan, “Mengapa Anda tidak aktif bekerja?”
Karena mereka bukan rekening.

Padahal di negara lain:

Jerman punya Arbeitsagentur yang aktif memanggil, mewawancarai, dan melatih pencari kerja.

Australia punya program JobSeeker dan SkillsCheckPoint, bukan hanya memberi tunjangan tapi juga pelatihan.

Singapura punya SkillsFuture, yang memberi kredit pelatihan setiap tahun bagi warga dewasa.

Mereka dipanggil. Dibina. Diberi harapan. Sementara di sini, yang dipanggil justru: rekening.

Antara Kekuasaan dan Kepedulian Masalah kita hari ini bukan hanya di mana negara bergerak, tapi mengapa ia bergerak.

Negara terlihat lebih digerakkan oleh ketakutan—bukan kepedulian. Takut pada uang gelap. Pada rekening fiktif. Pada transaksi gelap. Namun, dalam kepanikan itu, yang jadi sasaran adalah mereka yang paling lemah: yang diam, yang pasif, yang hanya ingin hidup tenang.

Diam pun kini dianggap berbahaya. Apa Solusinya?

Kebijakan ini masih bisa dibenahi. Berikut beberapa solusi konkret yang dapat dipertimbangkan:

1. Notifikasi Berlapis & Berbasis Risiko
2. Kirim peringatan resmi (SMS, email, surat fisik) 3–6 bulan sebelum pembekuan.
3. Gunakan pendekatan berbasis risiko, bukan hanya waktu.

4. Perlindungan Hukum untuk Rekening Dormant
5. Dana tak bisa dipotong atau dipindah tanpa proses hukum.
6. Pemilik tetap punya hak penuh.

7. Pusat Edukasi Keuangan Digital Nasional
8. Bangun platform bersama OJK, BI, PPATK.
9. Fokus pada literasi rekening dormant, risiko jual akun, dan keamanan digital.

10. Saluran Klarifikasi yang Ramah & Cepat
11. Sediakan hotline dan kanal komunikasi digital yang jelas.
12. Hindari masyarakat dipingpong atau kebingungan.

13. Evaluasi Batas Tiga Bulan
14. Terlalu singkat. Sebaiknya diperpanjang menjadi 12 bulan atau lebih, seperti praktik di negara-negara maju.
15. Fokus pada Pelaku Kejahatan, Bukan Warga Biasa

16. Gunakan AI dan analisis data untuk mendeteksi pola kriminal.
17. Jangan samakan diamnya rekening dengan kejahatan.

Kebijakan yang kuat tak boleh mengorbankan keadilan. Negara tentu punya hak menjaga sistem keuangan. Namun jika ia lebih cepat mencurigai saldo tak bergerak ketimbang nasib warga yang diam-diam membeku dalam pengangguran, maka mungkin—yang membeku bukan hanya rekening. Tapi juga nurani.

Sumber: Kompas.com
Editor: Agung