Kasus Penyiksaan Sadis ART di Kawasan Sukajadi Batam Masuk Tahap Penelitian Jaksa

Tersangka Roslina (majikan korban-kanan) dan Merliyati (kiri), saat digelandang ke Mapolresta Barelang, beberapa waktu lalu. (Foto: Paskalis Rianghepat)

J5NEWSROOM.COM, Batam – Luka di tubuhnya belum pulih, tetapi Intan Tuwa Negu (22) memberanikan diri mengungkap kisah kelam yang dialaminya. Selama berbulan-bulan bekerja di sebuah rumah mewah di Perumahan Sukajadi Batam, ia mengaku menjadi korban penyiksaan sadis: dipukul, dijambak, ditendang, disetrum raket nyamuk, bahkan dipaksa memakan kotoran anjing dan meminum air kloset.

Kasus yang memantik perhatian publik ini kini memasuki tahap penelitian di Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam, setelah penyidik Satreskrim Polresta Barelang menyerahkan berkas tahap pertama pada Kamis (14/8/2025). “Jaksa peneliti punya waktu tujuh hari untuk memeriksa kelengkapan formil dan materiil berkas ini,” ujar Kepala Seksi Intelijen Kejari Batam, Priandi Firdaus, Jumat (15/8/2025).

Dua tersangka, Roslina (majikan korban) dan Merliyati Louru Peda (sepupu korban), dijerat Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT jo Pasal 55 KUHP. Jika berkas dinyatakan lengkap (P-21), keduanya akan diserahkan bersama barang bukti ke jaksa penuntut umum.

Priandi memaparkan, kasus ini terungkap pada 22 Juni 2025 setelah Regina Gin Juit melihat unggahan Facebook yang memperlihatkan wajah korban lebam dan tubuhnya penuh luka. Regina lalu melapor ke polisi. Sehari kemudian, aparat menangkap kedua tersangka.

Hasil visum dr Reza Priatna dari RS Elisabeth Batam menunjukkan luka memar, lecet, dan bengkak di hampir seluruh tubuh korban, robekan pada bibir bawah, serta anemia akibat kekerasan tumpul.

“Kondisi korban tidak memungkinkan untuk bekerja sementara waktu. Hal itu berdasarkan laporan visum tertanggal 23 Juni 2025,” jelasnya.

Berdasarkan keterangan korban, kekerasan dari Roslina telah berlangsung sejak Desember 2024, sedangkan Merliyati mulai terlibat sejak Mei 2025. Pemicu kekerasan beragam, mulai dari lupa menutup kandang anjing, tertidur saat bekerja, hingga kelalaian kecil seperti tidak mengganti kantong sampah.

Bentuk penyiksaan mencakup pemukulan dengan tangan kosong dan benda tumpul, penendangan tubuh termasuk area sensitif, membenturkan kepala ke dinding atau lantai, menyiram dengan air pel, hingga menempelkan kotoran hewan ke wajah korban. Ia juga dipaksa makan nasi basi dengan garam, tidur di lantai atau kamar mandi, dan dilecehkan secara verbal. Dalam satu insiden, korban dipaksa membuka pakaian sambil dihina, “Kau jual diri saja, jadi lonte”.

Selama bekerja, Intan tidak memiliki kebebasan. Telepon genggamnya disita, pintu rumah dikunci, dan setiap gerak-geriknya diawasi melalui CCTV. Ia diancam akan dipenjara bersama kakaknya jika berusaha kabur, sementara ancaman denda kontrak kerja membuatnya tak berani melawan.

Proses penelitian berkas perkara akan menentukan langkah berikutnya. Jika dinyatakan lengkap, jaksa akan segera melimpahkan kasus ke pengadilan. Namun, jika masih ada kekurangan, berkas akan dikembalikan ke penyidik untuk dilengkapi.

“Kasus ini tidak hanya menunjukkan tingkat kekerasan yang ekstrim, tetapi juga mengingatkan bahwa pekerja rumah tangga sangat rentan terhadap eksploitasi dan penyiksaan di ruang privat,” pungkas Priandi.

Editor: Agung