Subhan Klaim Gugat Ijazah Gibran Bisa Ungkap Seluruh Riwayat Pendidikan

Wapres Gibran Rakabuming Raka. (Foto: Facebook Gibran)

J5NEWSROOM.COM, Sebuah gugatan perdata dilayangkan oleh HM Subhan, pengacara dari Kantor Hukum Subhan Palal dan Rekan, terhadap Wapres Gibran Rakabuming Raka. Gugatan tersebut berkaitan dengan validitas ijazah SMA Gibran berdasarkan ketentuan Pilpres, dan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025 sejak tanggal 29 Agustus 2025. Persidangan dijadwalkan mulai pekan depan.

Pakar telematika Roy Suryo menyatakan tindakan Subhan patut diapresiasi karena dinilai berani. Namun, Roy mengingatkan agar gugatan tersebut bukan sekadar mencari sensasi atau alat untuk mencegah gugatan lain atas prinsip “ne bis in idem” — yakni tidak boleh menggugat hal yang sama dua kali.

Jika tuntutan senilai Rp125 triliun dalam gugatan ini dikabulkan, menurut Roy, maka gugatan tersebut berpotensi membuka kotak Pandora tentang riwayat pendidikan Wapres. Hal ini dapat memunculkan kembali berbagai ketidakjelasan yang selama ini mengelilingi perjalanan pendidikan Gibran.

Roy menyoroti bahwa ketentuan hukum mensyaratkan ijazah calon presiden atau wakil presiden minimal dari kategori SMA atau yang sederajat, dan untuk lulusan nonformal diperlukan surat penyetaraan resmi dari Kemendikbudristek atau Kemenag. KPU lalu memverifikasi melalui legalisasi dan klarifikasi. Namun, jejak pendidikan Gibran terindikasi tidak konsisten: dari menyebut bersekolah di Orchid Park Singapore hingga Santo Yosef lalu SMK di Solo, bahkan disebut lulusan S1 dari MDIS dan S2 dari UTS Australia — namun dikeluarkan oleh University of Bradford UK. Ini menimbulkan pertanyaan atas kejelasan dokumen dan surat keterangan penyetaraan yang baru diterbitkan pada 2019, berjarak 13 tahun setelah pendidikan.

Roy kemudian mempertanyakan apakah persidangan akan berlangsung adil atau malah berujung pada penolakan formal seperti yang terjadi dalam beberapa kasus ijazah lain. Jika kasus ini ditolak semata-mata oleh pengadilan karena alasan formal, maka dia mempertanyakan kapan publik akan benar-benar merasakan keadilan yang sama di hadapan hukum.

Editor: Agung