
Oleh Novita Ratnasari, S. Ak
DUKUNGAN Palestina menggema di ruang sidang ke-80 Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat pada Senin (22/9/2025). Dalam rangka mengakui negara Palestina dan mengimplementasikan solusi dua negara atas penjajahan Israel terhadap Palestina.
Sebanyak 156 negara, setelah Prancis, Belgia, Luxemburg, Malta, dan Andora serta beberapa negara yang menyatakan pernyataan resmi menyuarakan kemerdekaan negara Palestina, sehingga PBB secara de facto mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Namun, pengakuan secara de jure masih menunggu keputusan Dewan Keamanan PBB yang kerap terhambat veto negara Amerika Serikat. (IDN Times, 23/9/2025)
Beredar video PM Israel Netanyahu murka merespons realitas ini. Alhasil, ia mendeklarasikan pesan kepada dunia bahwa “tidak akan ada negara Palestina di barat Sungai Yordan” lebih lanjut ia menilai dunia memaksakan kemerdekaan negara teroris di jantung tanah air Israel. Mengingat Israel sudah menekan Palestina secara brutal dari dalam dan luar negeri. Terakhir, Netanyahu mengingatkan kepada publik jika tindakan lebih lanjut akan menunggu kepulangannya dari Amerika Serikat.
Benar saja. Israel dengan gencar meluncurkan serangan udara dan membabi buta sebagai respons persatuan global tuntut kemerdekaan Palestina. Di tengah semarak kemerdekaan Palestina berkumandang, menurut keterangan Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Gaza Munir al-Bursh, Rumah Sakit Mata St. John, Rumah Sakit Anak al-Rantisi, dan Rumah Sakit Sheikh Hamad di Kota Gaza kini tidak beroperasi karena pengeboman Israel di wilayah West Bank.
Munir al-Bursh telah memperingatkan bahwa pasien menghadapi “kematian yang pasti” karena rumah sakit itu harus menutup departemen-departemen vital dalam beberapa hari sebab kekurangan bahan bakar. (Al-Jazeera, 23/9/2025)
Serangan ini potret nyata kekejaman Israel. Bagaimana sikap arogan yang menentang hukum internasional dan peraturan perang. Berdasarkan riset, Israel telah menewaskan sedikitnya 65.382 orang. Kemudian lebih dari 1.723 tenaga kesehatan dan 270 Jurnalis dinyatakan tewas.
Sedangkan korban luka-luka sekitar 166.985 orang. Ribuan lainnya diyakini terkubur di bawah reruntuhan. Belum lagi, jumlah warga Gaza yang tewas di luar wilayah Gaza sekitar 1.139 orang dan sekitar 200 orang ditawan. Seluruh data tersebut kalkulasi sejak 7 Oktober 2023 hingga detik ini. Mirisnya lagi, dari korban yang meninggal sekitar 80 persen terkonfirmasi perempuan dan anak-anak.
Kendati demikian, sejauh ini publik masih mencukupkan pembahasan Palestina pada data. Masih minim literasi menyoal penyakit kulit yang diderita warga Gaza, serangan Israel berskala tanpa bisa diprediksi, ibu melahirkan seasar tanpa anestesi, para korban terluka tanpa penanganan medis karena memang terkendala alat-alat medis dan sebagainya. Ironis!
Praktik Hasbara
Wajar! Selain Jurnalis di Gaza dibungkam selamanya, ternyata Israel mempraktikkan politik hasbara. Baru-baru ini, terungkap google teken kontrak dengan PM Israel untuk mengkampanyekan Israel, menyebarkan hoax, framing negatif terhadap hamas dan Palestina selama genosida berlangsung. Google mendapatkan upah fantastis senilai USD45 juta atau setata Rp2,3 triliun.
Hasbara merupakan diplomasi publik Israel secara masif dan bersifat global. Wajar jika opini publik terpecah belah menjadi dua, ada kubu Israel dan kubu Palestina, padahal kezaliman Israel nyata di depan mata tetapi ada saja yang menyudutkan Palestina. Itulah tujuan hasbara, yaitu menghadirkan citra baik kepada Israel secara global. Penjahat berlagak korban.
Menariknya, secara sisi politik, jika melihat eskalasi dukungan Palestina di penjuru dunia detik ini, termasuk di Eropa, berdampak positif. Sebab, selama ini yang menjadi mitra utama untuk melegitimasi penjajahan Israel di Palestina adalah Amerika dan negara-negara Eropa.
Ketika Eropa sekarang berbalik arah menjadi pendukung Palestina, bahkan untuk pertama kalinya London mengibarkan bendera Palestina pada Senin (22/9/2025) hal ini menunjukkan keberanian berpihak semakin nyata. Hal ini sejalan dengan ruang kritik terhadap Israel kian mengudara. Coba flashback ke tempo dulu, dukungan Palestina dan kritik terhadap Israel di Eropa sering disebut antisemitisme.
Sekarang, negara-negara Eropa serentak melegitimasi dan mendukung Palestina, artinya aksi-aksi dukungan pro Palestina semakin meningkat pesat dan ruang hasbara di Eropa menjadi semakin sempit.
Gelombang Boikot Internasional terhadap Israel
Pengakuan kemerdekaan Palestina buntut boikot Israel secara internasional. Disinyalir lebih dari 4.000 sineas Hollywood yang terdiri dari aktor depan layar hingga seluruh tim di balik layar menandatangani ikrar untuk memboikot Israel.
Jika boikot internasional diimplementasikan secara konsisten dan serius, tentu sangat berdampak membuat perekonomian Israel bergejolak. Pertanyaannya, simple. Apakah pemangku kebijakan bisa serius melakukan boikot? Apakah konsumen bisa konsisten boikot? Mirisnya, banyak didapati konsumen yang musiman, dalam artian serius memboikot ketika mendidih tetapi tergiur jika banjir promo.
Realitas boikot seperti ini menunjukkan politik lipstik. Artinya, pada gagasan dan secara verbal sangat seksi tetapi hanya visual belaka. Strategi politik lipstik marak dijumpai di beragam kepentingan perpolitikan pada sistem sekarang.
Mengingat secara global, dunia mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan semata. Setiap sudut mempengaruhi kebijakan, jika dinilai menguntungkan akan diterapkan. Didukung konsumen terbebani dengan kebutuhan pokok di era harga-harga pangan meroket. Di tengah gelombang boikot, tentu market banting setir agar produk terselamatkan, setidaknya masih terjual.
Tidak dipungkiri, deretan kebiadaban Israel tidak bisa mencukupkan pada pengakuan kemerdekaan secara lisan semata. Agar solusi tepat tentu harus memahami akar masalahnya, jangan sampai termakan hoax atau sekedar berkicau tanpa memahami duduk perkaranya.
Meneropong Akar Masalah
Memahami akar masalah antara Palestina dan Israel bukan sekedar konflik berkepanjangan ataupun perebutan wilayah antar negara. Secara faktual, kekuatan Gaza hanyalah bertumpu pada Hamas, di mana Hamas bukan sebuah militer profesional melainkan milisi. Artinya pasukan sipil dan bukan bagian dari program pemerintahan. Jadi, tentu milisi tidak memiliki perangkat perang yang memadai.
Perbandingan nampak kontras dengan militer IDF (militer Israel) yang memiliki perangkat perang lengkap, terlatih, dan profesional. IDF juga disuplai senjata baik dari pemerintah maupun sekutu, seperti Amerika yang konsisten suplai senjata ke Israel. Amerika telah mengeluarkan lebih dari Rp356,8 triliun untuk operasi militer Israel. Jadi, perang berkepanjangan ini bukan antara dua entitas melainkan satu entitas melawan peradaban Barat (Israel dan sekutu).
Kenapa Barat, termasuk Amerika konsisten mendukung Israel?
Menyelami pemikiran Prof. Abdul Fatah Al-Uwaisi, sosok guru besar hubungan internasional di Universitas Essex, Inggris. Tertuang dalam buku “Planning Strategi Pembebasan Masjidil Aqsa Mubarak” dituliskan bahwa Israel bukan sebuah negara melainkan proyek kolonial salibis Barat strategis. Singkat cerita, Barat melihat penjajahan kolonial ini sudah berabad-abad tetapi tidak efektif.
Tidak mampu menjaga dominasi Barat karena selalu terbenturkan dengan kekuatan umat Islam. Akhirnya pada tahun 1907 Perdana Menteri Inggris Sir Henry Campel Banderman mengumpulkan pemimpin negara kolonial seperti Inggris, Perancis, Itali, Portugal, dan lain sebagainya untuk mendatangkan ahli pemikir, ahli strategi, para politisi, ahli militer, serta ahli keuangan.
Akhirnya, untuk melanggengkan dominasi Barat di dunia lahirlah pemikiran bersama yaitu “sudah saatnya bersatu” menyatukan kekuatan langkah, kekuatan politik, ekonomi, dan mencegah kebangkitan umat Islam. Bagaimana caranya? Tanamkan satu proyek di jantung kekuatan umat Islam yaitu bumi Palestina. Gagasan ini bertemu dengan cita-cita Theodor Herzl, akhirnya Barat konsisten dan serius mendukung totalitas Israel sampai detik ini.
Melihat realitas ini, tentu two state solution bukanlah solusi. Menelusuri solusi dengan kenyataan pahit, tentu langkah strategis adalah menyatukan kekuatan dan persatuan untuk mengusir eksistensi Israel dan sekutu. Bukan sekedar kekuatan suara melainkan kekuatan militer.
Bayangkan jika 156 negara berkoalisi membentuk satu militer internasional dengan dukungan penuh dari masing-masing pemerintahan tentu sangat mudah mengoyak-ngoyak hegemoni Israel di jantung bumi Syam. Senada dengan pidato Presiden Kolombia Gustavo Petro di ruang sidang Majelis Umum PBB yaitu menyerukan resolusi perdamaian untuk Palestina dengan membentuk dan menyatukan angkatan bersenjata. Gagasan sudah dicetuskan di depan forum bergengsi, tentu saatnya direalisasikan. Tidak sekedar omon-omon belaka. Memberikan solusi nyata bukan sepucuk harapan palsu.
Pernyataan PM Kolombia begitu spektakuler dan berani karena secara terang-terangan menentang Israel. Berbeda dengan pimpinan negara lain yang cenderung menyebut Palestina berkali-kali tetapi nampak tidak anti Israel. Seharusnya, pembahasan di sidang PBB menjadi pendekatan lebih strategis.
Pertama, memberikan ultimatum kepada Israel jika terus genosida Palestina, dengan menghentikan keanggotaan Israel di PBB.
Kedua, jika dalam batas waktu yang disepakati masih melanggar, langkah selanjutnya, mengajak seluruh anggota PBB menghentikan hubungan diplomatik dengan Israel.
Ketiga, memutuskan hubungan ekspor impor dengan Israel, termasuk boikot total baik jalur darat, laut, dan udara. Ketiga tahapan ini merupakan solusi jangka pendek yang sangat strategis, membuat penjahat tidak berkutik. Kuncinya persatuan global.
Solusi Jangka Panjang
Menuntaskan penjajahan Palestina, tentu harus merealisasikan persatuan global mutlak tidak musiman. Jika persatuan perasaan bersarang dalam pemikiran dan kepentingan yang beragam tentu rawan perpecahan. Alhasil persatuan akan terealisasi jika konsentrasi persatuan ada pada persamaan perasaan, pemikiran, kepentingan, kebutuhan, dan aturan yang sama.
Menghadirkan militer perang yang siap tempur melawan Israel tentu mustahil jika kepentingan beragam negara masih belum satu padu. Mengingat seluruh negara sudah terkonsentrasi pada aturan kapitalisme dan budaya sekularisme, sehingga mustahil mencapai titik tujuan pembebasan.
Menyelami sejarah pembebasan Palestina oleh pasukan pembebas umat Islam, seluruh militer bergerak di bawah satu komando. Perintah pemimpin yang memiliki tujuan mulia semata-mata membebaskan penjajahan dengan langkah tegas dan nyata. Mulai dari memutus seluruh hubungan diplomatik dengan negara penjajah sampai melawan kezaliman. Seluruh perlawanan berasas pada kebenaran, bukan lagi bertumpu pada kepentingan perekonomian.
Mengingat, kini seluruh penguasa negeri muslim memiliki beragam kepentingan nasional, tentu perlu persatuan pemahaman menyoal urgensi kepemimpinan yang benar di dalam aturan yang benar. Jika mempelajari kegemilangan Islam hampir 14 abad dan eksis menguasai 2/3 benua, ternyata umat Islam menerapkan seluruh aturan Islam alis ideologi Islam.
Israel sudah melipatgandakan pemukiman Yahudi di Yudea dan Samaria (West Bank) kini dengan keji akan menguasai seluruh jantung Palestina, sekarang waktunya pembebasan wilayah yang direbut paksa. Mengembalikan aturan dan kepemimpinan Islam sebagai perisai umat dan membebaskan Palestina dari cengkeraman Israel.
Sepanjang sejarah Islam, Yahudi adalah kaum yang paling keras permusuhannya kepada kaum muslimin. Allah jelaskan dalam QS Al-Maidah: 82 “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik”
Hanya Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang akan mampu melumpuhkan Israel dan membebaskan Gaza, Palestina dan seluruh manusia dari makar jahat kaum zionis Israel.*
Penulis adalah Mentor Kelas Menulis Smart With Islam Karawang Jawa Barat

