Purbaya dan Mazhab Kuno Pertumbuhan

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. (Foto: Ist)

J5NEWSROOM.COM, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sejak awal masa jabatannya menuai perhatian publik lewat gaya penyampaiannya yang blak-blakan. Namun, di balik gaya tersebut, ia tampaknya tetap berpegangan pada pendekatan ekonomi lama: menitikberatkan seluruh keberhasilan negara pada pertumbuhan ekonomi semata.

Dalam sejumlah pernyataannya, Purbaya menargetkan pertumbuhan ekonomi di kisaran 6–8 persen. Ia mengadopsi paradigma ekonomi klasik atau neo-klasik yang menjadikan pertumbuhan sebagai tolok ukur utama keberhasilan pembangunan. Padahal, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi saja belum cukup bila tidak disertai pemerataan dan keadilan sosial.

Salah satu kebijakan awal yang dilepas Purbaya adalah penyaluran dana pemerintah senilai Rp 200 triliun melalui bank BUMN agar mendorong kredit produktif. Namun strategi ini dikritik karena potensi alirannya justru menguntungkan korporasi besar dan proyek infrastruktur, bukan pelaku usaha mikro dan kecil yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian rakyat.

Pengamat menyebut bahwa pendirian Purbaya seolah mengulangi pola lama: elit penguasa tetap mengatur arus modal dari atas, sementara masyarakat kecil menjadi penonton. Tanpa keberpihakan struktural — seperti reformasi fiskal atau redistribusi — maka pertumbuhan yang tinggi pun bisa justru memperkuat ketimpangan.

Pada akhirnya, kritik yang disampaikan bukan soal kemampuan Purbaya mengelola angka makro, melainkan keberaniannya mengubah paradigma. Kinerja ekonom sejati bukan hanya soal mengatur angka, melainkan merancang sistem yang melekat pada keadilan dan pemerataan.

Editor: Agung