Kritik dan Solusi Kesejahteraan Guru di Tengah Kebijakan PPPK Paruh Waktu

Oleh Widdiya Permata Sari

PADA tahun 2025, pemerintah resmi meluncurkan Skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu. Skema ini dimaksudkan untuk menampung karyawan honorer atau non-ASN yang belum terakomodasi dalam penerimaan CPNS atau PPPK penuh waktu.

Gaji PPPK Paruh Waktu tidak boleh lebih rendah dari gaji terakhir mereka saat masih berstatus honorer atau kurang dari UMP wilayah.

Di DKI Jakarta, gaji Paruh Waktu PPPK setara dengan UMP 2025, atau sekitar Rp5,3 juta per bulan. Di wilayah seperti Jawa Tengah, gajinya berada di kisaran Rp2,1 juta – Rp2,3 juta.

Gaji PPPK Paruh Waktu berkisar antara Rp2 juta hingga Rp5,6 juta, tergantung pada seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan dan di mana Anda bekerja. (Sindonews.com, 13/09/2025)

Kebijakan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu bagi guru honorer telah memicu keprihatinan mendalam. Alih-alih membawa angin segar, besaran gaji yang diterima hanya belasan ribu rupiah per jam menimbulkan keresahan.

Sungguh ironi, pahlawan tanpa tanda jasa yang menjadi tulang punggung pendidikan bangsa harus puas dengan upah yang jauh di bawah standar kelayakan, bahkan tak jauh berbeda dengan masa mereka berstatus guru honorer. Beban kerja sebagai pendidik tetap penuh, namun harapan akan peningkatan kesejahteraan nyaris pupus.

Kondisi ini diperparah oleh ketimpangan penghasilan antar provinsi, yang semakin menyoroti ketidak adilan dalam kompensasi guru di seluruh penjuru negeri.

Pemerintah mengklaim PPPK Paruh Waktu adalah jalan keluar bagi ratusan ribu tenaga honorer yang belum terakomodasi sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), seiring target penghapusan sistem honorer pada tahun 2025.

Namun, kebijakan ini terasa setengah hati dan sekadar jalan tengah untuk menanggulangi masalah honorer di tengah keterbatasan anggaran. Guru seolah ditempatkan pada pilihan sulit: di-PHK atau menerima status PPPK Paruh Waktu yang tidak menjamin kesejahteraan.

Dalih keterbatasan anggaran kerap menjadi alasan klasik. Padahal, peran guru tidak sepatutnya dijalankan secara paruh waktu. Pendidikan generasi membutuhkan komitmen dan fokus penuh (full time).

Kekurangan guru profesional penuh waktu secara langsung mengancam kelancaran proses belajar-mengajar dan kualitas pendidikan nasional. Jika memang terjadi defisit tenaga pendidik, seharusnya pemerintah membuka kesempatan seluas-luasnya untuk pengangkatan guru penuh, tanpa perlu menciptakan status paruh waktu.

Kesan ketidak seriusan pemerintah dalam menuntaskan isu rekrutmen, kesejahteraan, distribusi, hingga sarana pendukung pendidikan, hanya menambah rasa frustrasi para guru terhadap janji-janji yang tak kunjung terwujud.

Dampak Kapitalisme di Sektor Pendidikan

Realitas pahit ini membuka mata kita pada dampak buruk sistem kapitalisme dalam dunia pendidikan. Dalam paradigma ini, negara cenderung melepaskan tanggung jawab asasinya untuk mengurus seluruh kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan. Guru, sebagai elemen kunci, belum mendapatkan perhatian serius yang layak.

Kesejahteraan mereka diabaikan, memaksa banyak guru harus mencari pekerjaan sampingan demi menyambung hidup. Jika kondisi ini terus berlanjut, fokus guru dalam mendidik generasi akan terpecah, yang pada akhirnya akan berdampak destruktif pada kualitas generasi penerus bangsa.

Islam Menawarkan Solusi Total: Negara Penjamin Kesejahteraan Guru

Kontras dengan realitas saat ini, sistem pendidikan dalam Islam, yang dijalankan oleh Khilafah, menempatkan tanggung jawab sepenuhnya pada negara untuk menjamin penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Negara tidak hanya menyediakan sarana dan prasarana yang memadai, tetapi juga menempatkan tenaga pendidik yang ahli di bidangnya di seluruh wilayah.

Guru dipandang sebagai posisi yang sangat strategis bagi masa depan umat, sehingga mereka dimuliakan dengan dukungan penuh berupa gaji, fasilitas, dan penghargaan yang memadai. Kesejahteraan guru adalah prioritas dan kewajiban negara.

Dalam sistem Khilafah, gaji guru bersumber dari Baitulmal (kas negara), yang memiliki mekanisme dan sumber pemasukan yang kokoh dan berkelanjutan, meliputi:

Pos Fai dan Kharaj: Sumber seperti ghanimah, kharaj, pajak tanah (usyur), harta karun (rikaz), dan dharibah.

Pos Kepemilikan Umum: Sumber daya alam (SDA) seperti minyak, gas, hasil tambang, laut, sungai, dan hutan, yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat.

Pos Zakat: Khusus dialokasikan untuk delapan golongan yang berhak sesuai syariat.

Pos pemasukan (kecuali zakat) digunakan untuk membiayai kebutuhan publik, termasuk menjamin pendidikan dan kesejahteraan guru. Oleh karena itu, alasan klise keterbatasan anggaran tidak akan pernah muncul, sebab Islam telah menetapkan mekanisme yang pasti untuk menjamin ketersediaan dana pendidikan.

Pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara dan tidak diserahkan kepada individu atau asing, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

“Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Daud) menjadi jaminan tambahan bagi stabilitas keuangan negara.

Guru dalam Khilafah adalah pegawai negara dengan gaji dari Baitulmal, bukan sekadar kompensasi jam kerja, melainkan penghargaan atas peran vital mereka dalam mencetak generasi unggul. Hal ini selaras dengan hadis: “Imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Politik pendidikan Islam bertujuan membentuk kepribadian Islami, menguasai ilmu pengetahuan, dan menjamin akses pendidikan gratis tanpa diskriminasi bagi seluruh warga. Allah ﷻ juga berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS Al-Mujadilah: 11).

Ayat ini menjadi landasan syar’i bagi negara untuk mengangkat derajat guru dengan kesejahteraan yang layak.*

Penulis adalah Komunitas Gen Hijrah Batam.