Pelaku Penyiksaan Sadis ART Batam, Roslina dan Merliyati Terancam 10 Tahun Bui

Terdakwa Roslina dan Merliyati saat digiring meninggalkan ruang sidang PN Batam, Senin (3/11/2025). (Foto: Paskal/BATAMTODAY)

J5NEWSROOM.COM, Batam – Dua perempuan, Roslina (44) dan Merliyati Louru Peda, duduk di kursi terdakwa Pengadilan Negeri Batam atas dugaan kekerasan berulang terhadap asisten rumah tangga (ART) mereka, Intan Tuwa Negu (22).

Korban disebut mengalami luka bakar dan memar di sekujur tubuh akibat perlakuan brutal yang terjadi di rumah majikannya di kawasan elit Sukajadi.

Sidang pembacaan dakwaan berlangsung di ruang Soebakti, dipimpin oleh Hakim Ketua Andi Bayu dengan anggota Douglas Napitupulu dan Dina Puspasari. Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum, Aditya Syaummil dan Muhammad Arfian secara bergantian membacakan dakwaan selama hampir satu jam.

“Perbuatan para terdakwa dilakukan bersama-sama dan terus-menerus dengan cara yang kejam dan tidak berperikemanusiaan,” ujar Aditya di hadapan majelis hakim.

Menurut surat dakwaan, kekerasan berlangsung sejak Desember 2024 hingga Juni 2025 di rumah Roslina di kawasan Sukajadi. Korban kerap menjadi sasaran amarah dengan alasan sepele. Ia dipukul, dijambak, hingga diinjak saat bersujud.

Roslina juga diduga menggunakan benda rumah tangga sebagai alat penyiksaan, termasuk tongkat serok dan raket listrik yang ditempelkan ke wajah korban hingga menimbulkan luka bakar. Korban bahkan dipaksa membuat video pengakuan dan menulis buku berisi pernyataan kesalahan setiap kali dianggap bersalah.

Puncak kekerasan terjadi pada 10 Juni 2025, ketika Roslina menonjok mata korban dan membenturkan kepala korban ke dinding. Dua minggu kemudian, 21 Juni 2025, Merliyati diduga menyetrum wajah korban menggunakan raket listrik hingga menyebabkan luka melepuh.

Hasil Visum et Repertum Nomor 57/RSE-BTM Kota/VI/2025 yang ditandatangani dr Reza Priatna, Sp.FM, menyebutkan korban mengalami memar di hampir seluruh tubuh, luka robek di bibir, dan luka bakar di wajah. Pemeriksaan medis juga menemukan korban menderita anemia akibat kekerasan yang terjadi secara terus-menerus.

“Korban mengalami rasa sakit dan tidak dapat bekerja untuk sementara waktu,” jelas Arfian, saat membacakan hasil visum.

Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juncto Pasal 64 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kedua pasal tersebut mengatur tentang kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan secara berulang, dengan ancaman pidana maksimal lima tahun penjara.

Jaksa menilai, kekerasan yang dilakukan bukan tindakan spontan, melainkan pola penganiayaan yang sistematis. “Ini bukan tindakan sesaat, tetapi bentuk kekerasan yang direncanakan dan dilakukan secara sadar,” ujar Aditya.

Usai pembacaan dakwaan, tim penasihat hukum terdakwa Roslina, yakni Dwi Amelia Permata dan Lisman Hulu, mengajukan eksepsi atau keberatan terhadap surat dakwaan jaksa.

Dalam eksepsi yang disusun oleh Dr. Sidik Purnama dan tim, pembela menilai dakwaan JPU tidak sah secara formil maupun materil. Mereka berpendapat bahwa penyidikan dilakukan di bawah tekanan opini publik, sehingga berpotensi mengganggu objektivitas hukum.

Penasihat hukum juga menilai surat dakwaan memuat kekeliruan dalam unsur turut serta melakukan serta terdapat pelanggaran prosedural KUHAP yang dapat menyebabkan dakwaan dinyatakan batal demi hukum.

Dalam argumentasinya, tim pembela mengutip asas praduga tak bersalah, prinsip keadilan dalam QS. Al-Maidah ayat 8, serta pandangan Santo Thomas Aquinas tentang moralitas dalam hukum.

Melalui eksepsi tersebut, penasihat hukum meminta majelis hakim untuk, menerima eksepsi penasihat hukum terdakwa untuk seluruhnya, menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum dan menghentikan pemeriksaan perkara terhadap terdakwa Roslina.

Majelis hakim menunda sidang hingga pekan depan dengan agenda tanggapan jaksa atas eksepsi yang diajukan tim pembela.

Editor: Agung