SDN 012 Sekupang: Merawat Keberanian Anak di Tengah Keterbatasan dan Ancaman Perundungan

Sosialisasi antiperundungan di SDN 012 Sekupang, Jumat (14/11/2025). (Foto: Ist)

J5NEWSROOM.COM, Batam – Di sebuah ruang kelas yang dindingnya dipenuhi gambar ceria, puluhan siswa SDN 012 Sekupang duduk menyimak dengan saksama. Seorang psikolog berbicara lembut namun tegas, mengajak mereka memahami bagaimana perundungan bisa hadir tanpa disadari dalam keseharian. Pada Jumat (14/11/2025) itu, sekolah tidak sekadar menjalankan rutinitas belajar, melainkan memperkuat pondasi penting bagi masa depan: membangun ruang pendidikan yang aman dari bullying dan kekerasan.

Sosialisasi bertema “Cegah Bullying dan Kekerasan Seksual Sejak Dini Demi Generasi Tangguh dan Bermartabat” digelar bekerja sama dengan Dinas Pendidikan serta DP3AP2KB Batam. Psikolog Paramita Estikasari, M.Psi., hadir sebagai pemateri, bersama guru, komite sekolah, orang tua, dan murid yang duduk berdampingan menyimak berbagai kisah tentang bagaimana perundungan kerap terjadi diam-diam di tengah dinamika pergaulan anak.

Membangun Ruang Belajar yang Aman

Kepala SDN 012 Sekupang, Amir Mahmud Zein Nst, M.Pd.I., menilai kegiatan ini sebagai langkah strategis untuk memastikan lingkungan sekolah tetap menjadi tempat yang aman dan inklusif. Meskipun belum pernah terjadi kasus yang berujung ke ranah hukum, ia tidak ingin menunggu hingga hal itu muncul.

“Kegiatan ini bagian dari upaya pencegahan. Kami membangun kesepakatan bersama melalui penandatanganan komitmen antiperundungan,” ujar Amir.

Ia mengakui, dinamika emosional anak SD sering menimbulkan kesalahpahaman. Gurauan kecil kadang dianggap sebagai serangan. “Karena itu guru perlu terus memantau, terutama saat jam istirahat. Anak-anak sensitif, dan persepsi mereka beragam,” katanya.

Menyelesaikan Akar Masalah, Bukan Mencari Kambing Hitam

Sekolah menerapkan sistem penanganan berlapis ketika menerima laporan. Setiap aduan ditindaklanjuti dengan mengundang pihak terkait untuk duduk bersama dan memahami duduk perkara.

“Kami tidak mau memutuskan hanya dari satu sudut pandang. Orang tua harus merasa sekolah ini aman untuk menitipkan anaknya,” kata Amir.

Komunikasi sekolah–orang tua difasilitasi melalui grup WhatsApp setiap jenjang. Keluhan bisa ditampung di sana sebelum dibawa ke tim khusus atau langsung kepada kepala sekolah bila diperlukan.

Amir menambahkan, siswa kelas tinggi (IV–VI) lebih rentan terlibat konflik karena sedang mencari jati diri. “Ada keinginan diakui atau merasa berkuasa. Kadang muncul pemberian julukan-julukan yang bisa berkembang menjadi perundungan,” ujarnya.

Pesan untuk Orang Tua: Dengarkan dengan Utuh

Paramita mengingatkan pentingnya orang tua merespons laporan anak secara bijak. “Jangan langsung bereaksi. Dengarkan cerita mereka secara utuh,” pesannya.

Ia juga menegaskan bahwa anak harus diajarkan untuk berani melapor kepada guru atau orang dewasa, bukan membalas. “Kita tidak tahu kemampuan anak dalam menghadapi situasi. Membalas bisa membuat keadaan semakin buruk.”

Sesi diskusi ditutup dengan tanya jawab yang hangat. Anak-anak bercerita tentang pengalaman mereka, ada yang merasa pernah dijahili, ada yang kebingungan membedakan gurauan dan perundungan. Semua cerita menjadi pengingat bahwa menciptakan sekolah yang aman adalah tanggung jawab bersama.

Tantangan Fasilitas yang Tidak Sejalan dengan Kebutuhan

Di balik upaya membangun budaya sekolah yang peduli, SDN 012 Sekupang masih menghadapi tantangan besar dalam hal fasilitas. Sekolah yang berada di kawasan padat penduduk ini hanya memiliki tujuh ruang kelas untuk menampung sekitar 400 siswa, sehingga pembelajaran harus dilakukan dalam dua sesi.

Fasilitas toilet pun terbatas, hanya empat unit dan seluruhnya berada di lantai dasar. Siswa yang belajar di lantai dua harus turun melewati tangga yang tidak sesuai standar bangunan untuk sekadar mengantre toilet. Usulan penambahan ruang kelas dan toilet sudah disampaikan melalui Musrenbang Kecamatan, tetapi prioritas pemerintah saat ini masih tertuju pada kebutuhan mendesak lain, seperti pembangunan posyandu.

Ruang kerja kepala sekolah pun sederhana dan sempit. Namun, Amir mengaku tidak mempermasalahkannya. “Saya lebih memilih memberikan ruang yang lebih layak bagi guru-guru,” ujarnya kepada dua wartawan PWI Batam yang hadir pada kegiatan tersebut. Sikap itu mencerminkan dedikasinya menjaga proses belajar tetap kondusif meski dibayangi berbagai keterbatasan.

Langkah-langkah kecil yang ditempuh sekolah ini memang belum menyelesaikan seluruh persoalan, namun menjadi fondasi penting bagi terciptanya masa depan anak yang lebih aman, lebih tenang, dan lebih berharga.

Editor: Agung