
Oleh Dr Aqua Dwipayana
JUMAT pagi (21/11/2025) begitu melihat di telepon genggam nama sopir online yang menjemput saya, langsung membatin. “Asalnya dari Sumatera Utara. Mungkin daerahnya Pematang Siantar, kota kelahiran saya.”
Nama sopirnya Volt Athur Parhusip. Ia menjemput saya di Hotel InterContinental Jakarta Pondok Indah. Tujuannya Stasiun kereta cepat Whoosh Halim.
Melihat waktu tempuh dan jam ketika itu, saya berencana naik kereta yang berangkat pukul 07.30. Turunnya di Stasiun Padalarang. Saya sengaja membeli langsung di loket tidak diaplikasi untuk mengantisipasi kalau ada kejadian di jalan sehingga tibanya telat.
Begitu naik ke mobilnya, saya menyapa Parhusip. Ternyata perasaan saya tentang dirinya benar yakni asalnya Pematang Siantar. Bahkan rumahnya sekitar 2 kilometer dari rumah saya. Ia lebih tua dari saya.
“Kalau lewat jalan biasa butuh waktu sekitar 45 menit ke Stasiun Halim. Jika melalui jalan tol, menghemat 11 menit,” ujarnya.
Saya memutuskan lewat tol. Mempercayakan kepadanya memilih jalan tercepat dan memberikan kartu e-money.
Serahkan pada Ahlinya
Selama ini saya selalu berprinsip segala sesuatunya serahkan pada ahlinya. Pengemudi taksi online itu tentu lebih paham dibandingkan saya tentang situasi jalan di Jakarta.
Ia memilih masuk jalan tol di daerah Kuningan setelah melewati Jalan Kapten Pierre Tendean. Saya senang karena perjalanannya lancar, tanpa hambatan.
Ketika di daerah Cawang, ia salah jalan. Sebelum mobilnya memasuki jalan itu, saya menanyakan apakah benar lewat situ. Dengan yakin Parhusip memastikan jalannya benar.
Setelah memasuki jalan itu beberapa menit, baru ia menyadari salah jalan. Ternyata arah ke Bogor. Seharusnya ke Cikampek.
Ia panik. Berkali-kali mengumpat. Menyalahkan dirinya dan merasa sangat bersalah kepada saya. “Maaf pak, saya salah jalan. Jadi mengecewakan bapak yang sama-sama dari Siantar.”
Parhusip melanjutkan, “Karena salah saya maka uang tolnya saya yang bayar. Pakai kartu saya saja.”
Bersikap Tenang
Menyikapi itu, saya berusaha tenang. Mencoba memahami dan memaafkan kesalahan sopir yang jadi salah tingkah tersebut.
“Tadi kan sudah tanyakan ke Pak Parhusip, apakah jalan ini sudah benar? Bapak dengan yakin mengatakan ya. Ternyata salah jalan sehingga harus memutar jauh,” ungkap saya.
Masalahnya, lanjut saya, bukan pada bayar tolnya. Saya punya uang untuk membayar itu dan jumlah di kartu saya cukup. Jadwal saya ke Bandung jadi terlambat.
Saya berpesan kepada Parhusip agar lain kali hati-hati. Fokus saat mengemudi sambil melihat petunjuk di google map. Jangan sampai merugikan penumpang dan membuat kecewa.
Ia menyimak semua yang saya sampaikan. Sambil kembali berkali-kali minta maaf.
Saat mau turun di Stasiun Halim, saya memberikan uang lebih dari yang harus saya bayar. Termasuk mengganti biaya tol yang menggunakan kartunya.
Kereta yang berangkat pukul 07.30 tidak terkejar. Saya akhirnya naik yang pukul 08.00.
Saya bersyukur tiba dengan selamat di Stasiun Halim. Pagi itu saya banyak belajar dari Parhusip. Juga melatih kesabaran menghadapi situasi yang mengecewakan. Saya berhasil menaham emosi dan memaklumi kejadian itu. Alhamdulillah…
Dari Bogor saya ucapkan selamat berusaha mengendalikan diri agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Salam hormat buat keluarga.
11.00 25112025
Penulis adalah Pakar Komunikasi dan Motivator Nasional

