
J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi perizinan tambang nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai sorotan dari kalangan pegiat antikorupsi.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Kejaksaan Agung untuk mengambil alih penanganan perkara yang diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 2,7 triliun tersebut.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman menilai penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh KPK seharusnya tidak mengakhiri upaya penegakan hukum dalam kasus ini. Menurut dia, Kejaksaan Agung masih memiliki kewenangan untuk membuka penyidikan baru melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
“Kami mendorong Kejaksaan Agung melakukan penyidikan baru atas dugaan korupsi perizinan tambang nikel di Konawe Utara,” kata Boyamin, Jumat (26/12/2025).
KPK sebelumnya mengonfirmasi telah menghentikan penyidikan perkara dugaan korupsi pemberian izin pengelolaan pertambangan nikel di wilayah tersebut. Kasus itu sempat menetapkan mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, sebagai tersangka dan resmi dihentikan sejak Desember 2024.
Boyamin menilai langkah KPK tersebut berbanding terbalik dengan kinerja Kejaksaan Agung dalam beberapa tahun terakhir, khususnya dalam mengungkap perkara korupsi di sektor pertambangan. Ia mencontohkan penanganan kasus tambang timah di Bangka Belitung yang dinilai berhasil membongkar kerugian negara dan kerusakan lingkungan dengan nilai sangat besar.
Selain itu, Kejaksaan Agung juga disebut sukses menuntaskan sejumlah perkara besar lain, seperti kasus Jiwasraya, Asabri, serta dugaan korupsi alih fungsi lahan perkebunan sawit PT Duta Palma Group, yang sebelumnya sempat ditangani KPK.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo membenarkan penerbitan SP3 dalam perkara Konawe Utara. Ia mengatakan kasus tersebut berkaitan dengan dugaan kerugian negara sekitar Rp 2,7 triliun dalam rentang waktu 2007–2014.
“Untuk perkara tersebut, betul sudah diterbitkan SP3,” ujar Budi, Rabu (24/12/2025).
Dalam proses penyidikan sebelumnya, KPK mengungkap dugaan pelanggaran hukum dalam penerbitan izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi, serta izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi. Pada Oktober 2017, KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka dan mengungkap indikasi penerimaan uang sekitar Rp 13 miliar dari sejumlah perusahaan tambang.
Hingga kini, KPK belum mengungkap secara terbuka alasan hukum penghentian penyidikan tersebut. Penghentian perkara ini kembali memicu perdebatan publik terkait konsistensi penegakan hukum dalam kasus korupsi di sektor sumber daya alam.
Editor: Agung

