Oleh Dhimam Abror Djuraid
INDONESIA menerima vonis mati dari FIFA. Otoritas sepak bola tertinggi dunia itu mencabut hak Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U20 2023. Banjir komentar dan banjir hujatan. Saling tuding dan saling serang.
Netizen Indonesia memang terkenal—atau tercemar—paling agresif di dunia. Setiap kali ada persoalan besar pasti muncul tarung komentar di media sosial. Kalau tidak ada persoalan besar dicarilah persoalan supaya tetap bisa berdebat dan bertengkar di media sosial.
Ada dua tokoh yang dijadikan sasaran amarah massa pada kasus ini, yaitu Gubernur Bali I wayan Koster, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Dua orang itu pun dirujak habis oleh para netizen. Banjir kecaman dan caci maki menggelontor kepada Wayan Koster dan Ganjar Pranowo. Berbagai macam meme sindiran dan tonjokan diarahkan kepada dua orang itu. Salah satu meme yang banyak beredar menampilkan pasangan Ganjar-Koster sebagai calon presiden dan wakil presiden Palestina.
Amarah publik dicurahkan kepada Ganjar dan Wayan Koster seolah-olah dua orang itu yang paling bertanggung jawab terhadap vonis FIFA. Keduanya memang menolak kehadiran timnas Israel ke Indonesia. Tetapi, yang harus diingat adalah dua orang itu adalah petugas partai yang sedang menjalankan tugas dari pimpinan.
Berbagai komentar riuh rendah membanjir, karena FIFA tidak menyebut secara spesifik penyebab jatuhnya vonis. Dalam pernyataan pendek yang dikeluarkan pada 29 Maret, FIFA hanya menyebutkan bahwa setelah terjadi pertemuan antara Erick Thohir dan Gianni Infantino sebagai presiden FIFA diambil keputusan untuk membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah.
FIFA tidak menyebut masalah penolakan timnas Israel. Pada alenia kedua pernyataan FIFA malah menyinggung masalah Tragedi Kanjuruhan. FIFA menyebutkan bahwa pihaknya akan tetap berkomitmen untuk membantu sepak bola Indonesia untuk melakukan reformasi dan transformasi menyusul terjadinya tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022.
Karena tidak ada penjelasan yang kongkret, muncul berbagai spekulasi yang bermacam-macam. Ada yang menganggap kasus penolakan terhadap Israel sebagai faktor utama. Ada yang mengklaim bahwa Tragedi Kanjuruhan yang menjadi penyebab. Ada juga yang membuat spekulasi bahwa Indonesia sengaja mengundurkan diri karena tidak siap menjadi penyelenggara.
Kalau tiga argumen itu dikumpulkan menjadi satu, dan dianggap masing-masing mempunyai unsur kebenaran maka analisis akan sampai pada muara yang sama, yaitu adanya salah urus dalam pengelolaan sepak bola Indonesia.
Wartawan olahraga Sky Sport, Rob Harris menyebutkan bahwa pembatalan oleh FIFA merupakan akumulasi dari banyak faktor. Salah satunya adalah Indonesia dinilai tidak siap sebagai penyelenggara, karena stadion yang akan dipakai sebagai tempat pertandingan tidak memenuhi syarat.
Menurut Harris, dari hasil inspeksi terakhir yang dilakukan FIFA 21-27 Maret disimpulkan bahwa secara teknis Indonesia belum siap. Harris menambahkan bahwa FIFA juga tidak yakin bahwa Indonesia akan siap menjamin keamanan dan keselamatan semua peserta Piala Dunia.
Harris kemudian menyebut kasus Kanjuruhan sebagai salah satu pertimbangan faktor keamanan yang meragukan FIFA. Selain itu, penolakan terhadap kehadiran Israel juga menjadi konsideran yang memberatkan mengenai faktor keamanan.
Pencoretan Indonesia kali ini adalah akumulasi dari faktor-faktor pemberat yang disebutkan oleh FIFA. Faktor-faktor pemberat itu menjadi persoalan struktural yang merusak pengelolaan sepak bola Indonesia selama bertahun-tahun.
Masalah mismanejemen sepak bola Indonesia itu secara sederhana disebutkan karena adanya jaringan mafia dalam sepak bola Indonesia. Penyebutan ‘’mafia sepak bola’’ selalu memunculkan persoalan yang rumit, karena sampai sekarang PSSI selalu menyanggah masalah itu. Tindakan hukum juga sudah diambil oleh kepolisian dengan membentuk satuan anti-mafia sepak bola, tetapi hasilnya nihil.
Banyak yang meyakini bahwa jaringan mafia itu ada, tetapi tidak mudah membuktikannya. Kasus tragedi Kanjuruhan menjadi indikasi adanya jaringan mafia itu. Tragedi ini menewaskan 135 orang tetapi tidak ada satu pihak pun yang bertanggung jawab secara memadai. Pengadilan hanya menghukum ringan petugas lapangan dan membebaskan petugas polisi.
Pucuk pimpinan di PSSI tidak tersentuh hukum. Pimpinan PT Liga Indonesia juga lolos dari hukum. Pemilik klub Arema juga bisa melenggang tanpa memberikan tanggung jawab yang berarti. Tim independen yang dibentuk pemerintah juga hanya menjadi macan kertas yang ompong. Rekomendasi agar semua pimpinan PSSI dan eksekutif komite untuk mengundurkan diri tidak digubris. Separo dari anggota eksekutif komite lama masih tetap terpilih dalam kabinet baru di bawah Erick Thohir.
Setelah tragedi Kanjuruhan terjadi Presiden Jokowi segera mengirim Erick Thohir—ketika itu belum menjadi ketua PSSI–menemui Presiden FIFA Gianni Infantino untuk melobi agar Indonesia terhindar dari sanksi. Yang paling mengkhawatirkan ketika itu adalah sanksi pancoretan Indonesia sebagai tuan rumah. Indonesia pun lolos dari sanksi.
Atas restu Presiden Jokowi, Erick Thohir kemudian terpilih sebagai ketua umum PSSI dengan tetap memakai jaringan lama PSSI, yang sering diasosiasikan sebagai mafia sepak bola. Jaringan ini sudah bercokol puluhan tahun dan sulit bagi Erick Thohir untuk melawannya. Karena itu Erick Thohir memilih berkompromi.
Jaringan lama itu menjadi bagian dari salah urus PSSI yang menyebabkan fasilitas stadion tidak layak untuk memenuhi standar FIFA. Selama ini PSSI menutup mata terhadap klub-klub yang berlaga di Liga 1 tanpa mempunyai stadion yang memadai. Praktik itu berlangsung bertahun-tahun dan menjadi langgeng karena adanya jaringan mafia di baliknya. Ketika kemudian FIFA melakukan inspeksi terhadap stadion-stadion maka terungkaplah borok itu.
Kali ini FIFA tidak mau lagi berkompromi. Infantino tidak mau menanggung risiko. Di Qatar dia berani pasang badan soal pelarangan simbol LGBT dan pelarangan penjualan alkohol, karena secara teknis Qatar sangat siap sebagai penyelenggara.
Tetapi, di Indonesia Infantino tidak berani berspekulasi karena dia tidak yakin Indonesia siap secara teknis. Infantino mengabaikan pertemanan dengan Erick, dan vonis mati pun dijatuhkan.*
Penulis adalah wartawan senior