BUKBER, berbuka puasa Ramadhan 1444 hijriah di Masjid Sultan Singapura serasa sedang berada di Bangladesh. Bukan hanya karena menu makanannya saja, tapi juga jamaahnya. Seperti apa keseruan bukber di sana? Berikut catatan wartawan J5NEWSROOM.COM, Saibansah Dardani dari Singapura.
Adzan maghrib masih kurang sekitar 20 menitan lagi. Saya mulai memasuki halaman samping kiri Masjid Sultan yang sudah penuh dengan ratusan kursi plastik di bawah tenda putih. Sedangkan halaman kanan masjid diperuntukkan untuk jamaah wanita. Suasana bukbernya seperti hajatan di Indonesia. Tendanya dipasangi lampu hias nan cantik, persis acara nikahan.
Ada meja panjang dengan ratusan kursi plastik di sebelah kiri-kananya. Kemudian, atas meja panjang itu sudah terhidang menu makanan khas India, nasi bariyani menggunung dan gulai kari lengkap dengan daging kambingnya. Semuanya tertata rapi di atas nampan besar yang cukup untuk dinikmati 3-4 orang.
Sambil menunggu beduk maghrib tiba, beberapa dari jamaah yang sudah duduk cantik di kursi-kursi plastik itu. Sebagian berbincang dengan bahasa yang saya tidak paham sama sekali, agaknya bahasa Bangladesh atau India, gitu. Ada juga yang berbahasa Inggris dan Melayu. Sebagian lagi memilih untuk berzikir atau membunuh waktu dengan sekadar bermain hape. Sungguh terasa suasana kekeluargaan dan ukhuwah Islamiyah jamaah Masjid Sultan saat menanti adzan berkumandang.
BACA JUGA: Ramadhanan ke Singapura Disambut Senyum Hangat Tanpa Masker
Sebenarnya, menu yang disiapkan pengurus Masjid Sultan sore itu menarik selera saya. Apalagi bariyani dan gulai karinya itu. Sayang, saya belum terbiasa makan bersama di atas satu nampan beramai-ramai. Makan menggunakan tangan kosong, juga beramai-ramai. Apalagi dengan orang-orang yang baru ketemu dan etnis yang berbeda pula. Akhirnya, saya memilih untuk bergeser di posisi halaman tengah masjid, tepat dekat tangga menuju tempat sholat wanita.
Di sini hanya ada satu meja panjang, lengkap dengan kursi plastik di sisi kiri-kanannya. Saya memilih untuk berbuka puasa di sini, berdua saja dengan istri. Menunya pun tidak nasi bariyani dan gulai kari dari Masjid Sultan. Karena istri saya kurang selera dengan menu tadi.
Kami menyantap menu favorit berdua saat berada di Singapura, kue-kue jananan pasar yang dijual di kedai Bengawan Solo di Harbourfront. Rasanya lembut, tekstur dan warna kuenya begitu menarik. Favorit saya adalah kue talam yang dibandrol 1,50 dolar Singapura. Untuk ukuran kue yang langsung lenyap dalam tiga kali gigitan itu, sebenarnya lumayanlah harga segitu. Nyaris menyentuh angka Rp 17 ribu sebiji. Kalau di pasar Jodoh Batam, sudah bisa dapat setengah lusin.
BACA JUGA: Menyimak Tausiah Dhuhur Ustadz Khalid Rafi di Masjid Sultan Singapura
Setelah menyantap menu bukber, saya langsung bergerak ke tempat wudhu’ bersiap sholat maghrib berjamaah. Saya lihat sebagian jamaah masih menghabiskan menu di atas nampan. Sebagian lagi sudah meninggalkan kursi dan nampan kosong.
Pergerakan jamaah dari area bukber ke tempat wudhu’ lalu naik tangga menuju masjid begitu serentak. Semua sama-sama ingin segera berdiri di belakang imam untuk memulai takbir sholat maghrib. Saya pun berdiri di belakang imam bersama dengan para jamaah yang tidak sedikit berwajah dan kulit hitam khas Bangladesh.
Saya sedang sholat maghrib di Masjid Sultan Singapura, bukan masjid di Bangladesh.*