Titik Nol

Dari kiri-kanan: Agung Prabowo, Arif Wibawa, Susilastuti, Saibansah Dardani dan Nurgianto dari Lembaga Uji UKW (Uji Kompetensi Wartawan) UPNVY (Unversitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Yogyakarta). (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Agung Prabowo

DI MANAKAH sebenarnya Titik Nol Indonesia itu?

Paling tidak yang saya tahu ada tiga, di Sabang Aceh, di Soppeng Sulsel dan yang terakhir di IKN (Ibu Kota Negara). Masing-masing memeiliki penjelesanan atas klaimnya. Dari ketiganya, saya pernah mengunjungi dua di antaranya. Di Soppeng dan IKN di Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara Kaltim. Dari ketiganya, IKN yang paling menarik.

Sensasi Presiden Jokowi memang luar biasa. IKN mampu menciptakan medan magnet yang kuat. Magnet dalam hal kunjungan wisata maupun dalam investasi. Magnet inilah yang membuat saya tertarik untuk mendatanginya.

Belum ada transportasi dari Samarinda ke lokasi yang akan menjadi ibu kota negara itu. Kami berlima harus menyewa mobil.

Alhamdulillah ada alumni yang membantu mencarikan dari perusahaan tempatnya bekerja. Dari Samarinda berangkat pukul 09.00 WITA. Sampai di lokasi sekitar pukul 12.00 WITA. Sepanjang perjalanan melintasi dataran dengan tumbuhan yang tidak lebat lagi.

Berbeda dengan gambaran saya tentang Kalimantan. Saya berpikiran bahwa Kalimantan identik dengan ‘wild forest’. Hutan belantara yang pohonnya besar-besar. Pulau yang berirama suara bekantan. Nyatanya, Kalimantan adalah pulau yang panas. Di sepanjang jalan banyak berpapasan dengan truk-truk proyek. Debu dimana-mana.

Yang paling mengherankan adalah susahnya mencari BBM. Kalaupun ada, antriannya cukup panjang. Ironis memang. Daerah yang kaya dengan minyak bumi, tapi masyarakatnya kesulitan memperoleh BBM. Dari situ baru terasa, hidup di Jawa merupakan anugerah yang luar biasa he..he..

Untuk memasuki kawasan IKN kami harus melewati gerbang keamanan. Di situ ada buku tamu yang isiannya mengenai identitas tamu. Ternyata cukup banyak pengunjungnya. Jalan masuk ke lokasi layaknya jalan di Provinsi Lampung yang viral akhir-akhir ini. Truk proyek lalu lalang.

Suara dentuman alat berat menancapkan tiang pondasi bangunan terdengar silih berganti. Belum terlihat ada bangunan yang sudah jadi. Entah kalau di lokasi yang lebih ke dalam. Gambaran lokasinya masih seperti proyek yang belum siap. Sepertinya masih perlu waktu cukup lama untuk merealisasikan rencana IKN ini.

Kami berlima punya anggapan yang sama. Mana kuat kalau ASN harus pindah ke sini di tahun 2024 mendatang. Infrastruktur sosialnya belum terbangun. Untuk menemukan rumah makan yang layak saja tidak gampang. Lokasinya jauh. Ada satu rumah makan yang ramai. “Rumah makan IKN”. Saya kira rumah makan ikan.

Kepanjangan dari “IKN”. Ternyata bukan. Menunya geprek-an. Pemiliknya orang Palembang. Bermodal besar sepertinya, karena harga tanah di sini tidak murah. Mencapai Rp 4 juta rupiah per meternya. Sepertinya dia sedang melakukan pengembangan bisnisnya. Ada proyek bangunan cukup besar di sebelah rumah makannya.

Dibandingkan dengan konsepnya, imajinasi saya tidak mampu mencapai gambaran seperti yang dikonsepkan itu. Penampilan kota moderen dengan konsep hijau, sama sekali tidak nampak bila melihat kondisi riil saat ini. Mungkin masih dalam tahapan sekian persen. Tetapi yang jelas kondisi saat ini masih berserakan. Jauh angan dari kenyataan.

Yang sudah bisa disaksikan dan menarik wisata saat ini adalah sebuah ‘tetenger’ berukuran 30 cm persegi dengan ketinggian 40 cm berwarna biru. Tetenger inilah yang menjadi destinasi utama para pengunjung. Inikàh titik pusat KM 0 Indonesia?

Wallahualam.