J5NEWSROOM.COM, Moutong – Puluhan warga Kota Palu menggelar aksi doa bersama untuk kesembuhan seorang anak perempuan berinisial R, 16 tahun, yang dirawat akibat kekerasan seksual oleh 11 pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Tengah. Doa bersama itu mereka gelar di pelataran Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata di Palu, Minggu (4/6/2023) malam.
Kegiatan yang diinisiasi oleh Gerakan Perempuan Bersatu Sulawesi Tengah itu juga diwarnai penyalaan lilin dan penandatanganan dukungan keadilan bagi korban di selembar kain putih.
Melalui deklarasi yang dibacakan secara bersama-sama oleh perwakilan sembilan organisasi lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan individu, Gerakan Perempuan Bersatu menyampaikan sejumlah desakan di antaranya agar negara memastikan perlindungan terhadap korban dan keluarganya. Aparat penegak hukum, menurut mereka, harus berpihak kepada korban dalam penanganan kasus perkosaan serta tidak melakukan diskriminasi terhadap korban dan keluarga korban.
“Masyarakat di Indonesia, khususnya di Sulawesi Tengah, media, akademisi, tokoh agama, masyarakat dan semua pihak diharapkan dapat bersolidaritas, memberikan dukungan untuk keadilan dan pemulihan kesehatan psikis terhadap korban tanpa stigma dan victim blaming terhadap korban dan keluarganya karena itu berdampak pada masa depan korban dan keluarganya,” imbau Gerakan Perempuan Bersatu dalam deklarasi itu.
Nur Safitri Lasibani dari Yayasan Sikola Mombine, kepada VOA mengungkapkan meskipun menjadi korban kekerasan seksual, masih terdapat informasi yang beredar di media sosial yang justru menyalahkan korban atas peristiwa itu.
“Kami melihat dari perspektif kami bahwa seorang anak tentunya dia tidak memberikan consent atau persetujuan. Dan ketika itu terjadi, artinya ada proses iming-iming dan juga bisa jadi ada intimidasi dari 11 orang pelaku, tersangka yang kini dalam proses hukum,” kata Nur Safitri di sela-sela kegiatan itu.
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu, Herry Mulyadi, dalam pendapat pribadinya yang disampaikan dalam acara itu berharap upaya pengalihan isu dengan menyalahkan korban atas apa yang dialaminya tidak boleh dibiarkan.
“Jangan karena kemiskinan, karena ketidakmampuan, kebodohan dan sebagainya, wanita, kemudian umur, menjadikan lelaki menjadi predator,” kata Herry.
Dikatakannya, tim medis di rumah sakit itu akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk pemulihan korban yang sedang dirawat di rumah sakit itu.
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Livia Istania Iskandar mengatakan sangat penting dilakukan penguatan psikologis korban supaya dapat menjalani setiap proses peradilan pidana dengan baik, aman dan nyaman.
“Agar hal itu dapat terjadi, kita juga perlu adanya kerja sama dari rekan-rekan jurnalis untuk bisa menjaga soal kerahasiaan identitas adinda R ini secara holistik. Jadi, tetap inisial. Tapi jangan kemudian mengarahkan hal-hal yang kemudian bisa dicari identitasnya oleh pihak-pihak lain,” kata Livia yang berbicara melalui aplikasi zoom meeting.
Selain itu, menurut Livia, sangat penting untuk masyarakat menjadi bagian dari proses pemulihan, penguatan korban menjalani proses hukum yang tidak mudah ke depannya. Livia mengingatkan label atau stigma yang negatif bisa melemahkan semangat korban.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah