Oleh Dhorifi Zumar
BILA kita buka catatan sejarah, perbedaan penetapan hari raya sejatinya sudah berlangsung cukup lama, bahkan sebelum kemerdekaan atau sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1945. Salah satu yang mencatat fenomena ini adalah orientalis dan pakar Islam asal Belanda, Snouck Hurgonje.
Dalam catatan berjudul Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid VIII (1994), Snouck bercerita ada dua metode menghitung hilal peringatan 1 Syawal di masa kolonial.
Pertama, berdasarkan penanggalan dan penglihatan terhadap bulan baru atau hilal. Biasanya metode ini dilakukan oleh orang Muslim terpelajar yang mengerti astronomi atau ilmu falak. Mereka melakukannya dengan melihat langsung datangnya bulan di langit di daerah dataran tinggi. Sedangkan metode kedua, berdasarkan tanggalan yang ditentukan pemerintah Belanda. Tanggalan ini tanpa perhitungan khusus dan hanya menghitung hari sejak puasa hari pertama dilaksanakan.
Di masa kolonial, Snouck melihat banyak orang yang mengikuti metode pertama. Jika sekarang perhitungan secara empiris atau rukyat dilakukan dengan ketentuan-ketentuan, seperti ketinggian bulan sekian derajat, maka di masa kolonial tidak demikian.
Contoh kasus umat muslim di Yogyakarta, termasuk Kesultanan Yogyakarta, di masa sebelum kemerdekaan masih berpegang pada kalender Jawa (Aboge, Alif-Rebo-Wage), yaitu sebuah perhitungan Jawa yang telah digunakan oleh para wali dan disebarluaskan oleh Raden Rasyid Sayid Kuning.
Kiai Ahmad Dahlan, seperti ditulis Muhammadiyah.or.id, mendapati perhitungan tanggal Hijriyah hari-hari besar Islam yang rutin digelar Kesultanan seperti Grebeg Maulid, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar Iduladha banyak yang berbeda dengan perhitungan kalender Aboge.
Karenanya, Kiai Ahmad Dahlan dengan penguasaannya terhadap metode hisab dan falak, menghadap ke Sultan Hamengkubuwono VII untuk memaparkan temuannya sekaligus meminta izin agar Muhammadiyah dibolehkan berbeda dalam penentuan tanggal perayaan hari-hari besar Islam. (Ahmad Faizin Karimi, Pemikiran dan Perilaku Politik Kiai Haji Ahmad Dahlan, 2012).
Sebagai seorang abdi dalem yang kental adat Jawanya, Kiai Ahmad Dahlan menemui Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada malam hari ditemani oleh pimpinan penghulu Keraton, KH Muhammad Kamaludiningrat (Kiai Sangidu). Saat itu Kiai Ahmad Dahlan diterima oleh Sultan dalam ruangan yang gelap-gulita, sehingga beliau yang mengira hanya berdua saja dapat menyampaikan argumennya dengan leluasa.
Namun selesai berargumentasi, lampu ruangan dinyalakan sehingga nampaklah di ruangan itu ternyata Sri Sultan didampingi oleh seluruh jajaran Kesultanan. Dengan penuh kebijaksanaan, Sri Sultan memberikan izin: “Berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, sedang Grebeg di Yogyakarta tetap bertradisi menurut hitungan Aboge”. (Junus Salam, K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya, 2009).
Pandangan Para Tokoh
Mengenai persoalan perbedaan hari raya ini, almarhum KH Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam ceramahnya di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo beberapa tahun lalu pernah meminta agar perbedaan itu tak perlu lagi dipermasalahkan. “Kan yang selisih Muhammadiyah dan NU ini cuma tanggalnya, bukan hari rayanya,” kata Kiai Muzadi saat itu.
Ia mengatakan, alasan perbedaan tanggal penetapan hari raya Idul Fitri karena cara menghitung yang berbeda. “Kalau NU harus kelihatan tanggalnya dan itu perlu 2 derajat di atas ufuk. Muhammadiyah pokoknya sudah ijtimak selesailah. Ada apa mesti diinceng (diteropong), apa tamu dia,” ujarnya yang disambut tawa hadirin.
Ia lalu menceritakan pada suatu hari diundang Wapres Jusuf Kalla bersama Prof Din Syamsuddin. JK lalu meminta solusi agar perayaan idul fitri tak ada perbedaan karena dianggap membuat repot masyarakat. “Caranya bagaimana pak?” tanya Kiai Hasyim Muzadi.
“Ya kompromilah. Bagaimana kalau Muhammadiyah naik satu derajat, NU-nya turun satu derajat,” kata JK. “Oh kalau gitu cash and carry aja,” cetus Kiai Hasyim menjawab JK. “Ini kalau fiqihnya pedagang ya gitu,” tambah Kiai Hasym Muzadi.
Selanjutnya, Kiai Hasyim Muzadi mengatakan, pihaknya tak bisa menyeragamkan pelaksanaan tanggal hari raya Idul Fitri. Menurutnya, yang bisa dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada seluruh umat Islam bahwa perbedaan itu memang ada, bukan mengada-ada. Tugas kita adalah memberikan pemahaman kepada umat dan mengajak umat untuk saling menghormati perbedaan itu. Karena yang berbeda itu hanya tanggalnya, sedangkan praktek atau prosesi pelaksanaan shalat id-nya sama.
Menko Polhukam Mahfud MD juga menyatakan hal senada dengan yang disampaikan Kia Hasyim Muzadi, bahwa tak ada yang sama dalam penentuan 1 Syawal baik lewat metode hisab maupun rukyat. “NU dan Muhammadiyah sama-sama berhari raya tanggal 1 Syawal, hanya beda pilihan ukuran ufuk. Sama juga, misalnya, umat Islam sama-sama melaksanakan salat dzuhur saat matahari lengser ke arah barat sekitar jam 12.00. Tetapi yang satu shalat jam 12.00, yang satu lagi shalat jam 13.00. Sama benarnya, tak perlu ribut,” kata Mahfud dikutip dari Instagram @mahfudmd.
Lebih dari itu, Mahfud juga meminta fasilitas publik boleh digunakan untuk pelaksanaan shalat Idul Fitri apabila ada masyarakat ingin menggunakan. “Pemerintah menghimbau, fasilitas publik seperti lapangan yang dikelola Pemda agar dibuka dan diizinkan untuk tempat shalat Idul Fitri jika ada ormas atau kelompok masyarakat yang ingin menggunakannya. Pemda diminta untuk mengakomodasi. Kita harus membangun kerukunan meski berbeda waktu hari raya,” kata dia.
Menurut Mahfud, perbedaan waktu hari raya sama-sama berdasar Hadits Nabi, “Berpuasalah kamu jika melihat hilal (bulan) dan berhari rayalah jika melihat hilal,” (Shuumuu biru’yatihi wa afthiruu birukyatihi). “Maksudnya setelah melihat hilal tanggal 1 bulan Hijriyah. Melihat hilal bisa dengan rukyat, bisa dengan hisab,” kata Mahfud.
Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin pun meminta umat muslim di Indonesia untuk menyikapi perbedaan itu dengan toleransi sesuai keyakinannya masing-masing. “Maka, yang ditempuh adalah adanya sikap bisa toleransi antara dua kelompok ini. Ya Lebaran sesuai dengan keyakinannya, dengan hitungannya. Jadi, bahasa Jawanya legowo,” kata Ma’ruf seperti dikutip Liputan6.com.
Ma’ruf menjelaskan, penyebab perbedaan itu terletak pada metode penetapannya. Dia mengatakan, bahwa pemerintah menggunakan metode imkanur rukyah yang menggabungkan hisab dan rukyah. “Kalau hisabnya di bawah dua, itu tidak imkan. Ini kesepakatan, termasuk ASEAN segitu, walaupun dia sudah di atas ufuk, tapi di bawah dua derajat. Itu metode imkanur rukyah,” ucapnya. Sementara itu, kata Ma’ruf, Muhammadiyah menggunakan metode wujudul hilal. “Asal wujud, asal ada saja. Walaupun setengah derajat, masuk. Nah, ini beda,” tambahnya.
Ma’ruf mengatakan, kondisi perbedaan dalam penetapan 1 Syawal adalah hal biasa di Indonesia. Dia mengatakan, memang sempat muncul konflik-konflik di tengah umat Islam pada awal mulanya, tetapi semua diupayakan untuk mengedepankan prinsip toleransi. “Kita terus sosialisasi dan edukasi. Sekarang rukun-rukun saja, sambil terus mencari metode untuk bisa mempertemukan dua metode ini, imkanur rukyah dan wujudul hilal,” pungkasnya.
Ikhtiar Mencari Solusi
Tak pelak meski para ulama dan petinggi negeri ini telah menghimbau umat dan warga negara untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan, tapi tetap saja tidak semudah membalik kedua tangan. Polemik dan perdebatan di tingkat bawah (grassroot), terutama di ranah medsos, masih sulit dibendung. Artinya, kita umat yang dibawah ini terus dibuat pusing (masdu’) dengan perbedaan itu.
Nah, bagaimana supaya perbedaan itu tidak terus terjadi? Apa kira-kira solusi yang perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan? Berdasarkan riset dan kontemplasi penulis, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama, pihak pemerintah menurunkan kriteria imkanur rukyah-nya dari 3 derajat dengan sudut elongasi 6,4 derajat kepada 2 derajat dengan sudut elongasi 3 derajat. Artinya ada kemungkinan pemerintah tidak lagi mengikuti kriteria baru dari MABIMS.
Kedua, Muhammadiyah juga perlu mulai mengakomodir metode rukyat, dengan tidak bersikukuh berpatokan semata pada hasil Hisab atau wujudul hilal ansich. Karena ternyata, menurut catatan sejarah, Buya Hamka yang notabene ulama Muhammadiyah yang sangat berpengaruh pada zamannya pernah menganjurkan kepada Muhammadiyah untuk kembali ke metode rukyat.
Dalam buku karya Buya Hamka yang berjudul “Saya Kembali ke Rukyah: Menjelang 1 Ramadhan 1392 M” yang diterbitkan oleh Firma Islamiyah di Medan tahun 1972 disebutkan bahwa Buya Hamka yang sejak awal dalam perjalanan hidupnya menganut Hisab beralih kepada penggunaan rukyat dalam arti terbatas. Beliau menyatakan hal ini pada keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Kongres/Muktamar ke-20 tahun 1930 di Yogyakarta yang kesimpulannya adalah yang diutamakan rukyah baru dengan hisab.
Selain itu, peristiwa KH Ahmad Dahlan menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono VII ditemani oleh pimpinan penghulu Keraton, KH Muhammad Kamaludiningrat (Kiai Sangidu) pada era sebelum kemerdekaan itu ternyata setelah KH. Ahmad Dahlan menentukan awal bulan Qamariyah dengan menggunakan metode rukyat bil ‘aini dan menetapkan bahwa 1 Syawal terjadi satu hari lebih dahulu dari Grebeg Syawal versi kalender Aboge yang dianut Keraton Yogyakarta. Artinya, KH Ahmad Dahlan pada awalnya dahulu menggunakan metode rukyat dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Lebih dari itu, KH Faqih Usman, seorang menteri agama dari Muhammadiyah dalam Kabinet Halim Perdanakusumah (1950) pernah memulai dan menutup puasa dengan rukyat.
Ketiga, kalau langkah pertama dan kedua tidak mungkin bisa dilakukan atau dijalankan, maka gagasan adanya Kalender Islam Global adalah alternatif berikutnya. Kalender Islam Global dirasa penting bagi praktik keseharian umat Islam. Kalender Islam Global berfungsi untuk menyatukan jatuhnya hari-hari ibadah Islam, terutama yang waktu pelaksanannya terkait lintas Kawasan. Dengan adanya upaya penyatuan kalender hijriyah yang berlaku secara internasional, akan dapat memberikan kepastian dan dapat dijadikan sebagai kalender transaksi, juga menyatukan Hari Arafah di seluruh dunia.
Dalam era global seperti sekarang ini, umat Islam mestinya memiliki sistem tata waktu yang unifikatif. Sehingga keberadaan suatu sistem yang mengatur waktu secara rapi dan terorganisasi di tingkat global merupakan satu keniscayaan bagi umat Islam. Kehadiran Kalender Islam Global akan semakin menguatkan Islam sebagai ummah wahidah alias umat yang satu padu (QS. Al-Mu’minun: 52 dan Al-Anbiya: 92).
Tapi masalahnya, untuk menggagas penerbitan Kalender Islam Global bukanlah perkara gampang. Karena belum tentu semua negara-negera Islam setuju dan sepakat dengan gagasan itu. Sebagaimana dinyatakan ahli astronomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bahwa pembentukan Kalender Islam Global akan sulit terwujud karena masih kentalnya perbedaan dalam menentukan bulan Qamariah/Hijriah. Alhasil, perbedaan penentuan hari raya di negara-negara Islam sepertinya masih ada berlangsung lama, bahkan mungkin tak bisa dibatasi waktunya.
Wallahua’lam!!
Penulis adalah Kontributor Majalah Siber J5NEWSROOM.COM, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Kalibaru Kota Depok, dan anggota Majelis Pendayagunaan Wakaf PP Muhammadiyah.