Dari Diskusi Bedah Buku “Banteng Bersayap-Kupu-Kupu” Karya Mosthamir Thalib
LAPORAN: Alia Safira
JN5NEWSROOM.COM, Pekanbaru – “Merujuk ontologi estetika Melayu, mutu karya seni, termasuk sastra, derajat tertingginya adalah Tujuh Laksana. Maknanya, karya itu bernilai Tujuh Bintang adanya! Berhubung dengan itu, Antologi, “Banteng Bersayap Kupu-Kupu”, hendak dianugerahkan berapa bintang? Kepada para penikmat karya yang unik lagi bermutu ini, kesemua penilaian itu terpulang.”
Demikian penjelasan Dr. Abdul Malik, Guru Besar Sastra dan Bahasa Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) ini, menyerahkan penilaian karya sastra tersebut kepada khalayak. Penilaian disampaikannya dalam diskusi bedah buku, “Banteng Bersayap Kupu-Kupu”, pada Sabtu, 24 Juni 2023, di Pekanbaru.
Guru Besar alumni Universiti Sultan Idris Malaysia ini, mengatakan jika penilaian tujuh bintang dialtari oleh adanya inovasi yang memesona. “Elok juga jika inovasi dan kreativitas penganekaragaman pelbagai genre puisi dalam antologi ini suatu hari nanti dimekarkan menjadi antologi terpisah: artikeliris, igal-igalan, gurindam, syair, pantun, dan talibun,” jelasnya.
Menurut penerima anugerah Sagang 2016 ini, kehadiran antologi seperti itu diyakini akan tampil lebih anggun. “Dampaknya, para penikmat pasti akan lebih terpesona dan tertegun!”
Igal-Igalan
Lebih lanjut, penerima anugerah Jambia Emas 2018 ini berargumentasi, jika buku Banteng Bersaya Kupu Kupu, khusus pada puisi Igal-Igalan merupakan bagian dari inovasi sekaligus perintis dari puisi lisan ke puisi tulisan. Menurut analisis Abdul Malik, ada beberapa poin yang dimiliki.
“Pertama, puisi Igal-Igalan berasal dari puisi lisan masyarakat Negeri Igal Mandah, Inderagiri, Riau. Kedua, merupakan inovasi dari puisi lisan ke puisi tulisan melalui kumpulan ini (perintis). Ketiga, merupakan tipografi: terdiri atas 2, 4, atau lebih larik per bait. Keempat, perhubungan antarlarik dapat berupa sebab-akibat atau positif-negatif dan negatif-positif. Kelima, bersajak /aa/, dan /ab/. Jika bersajak /ab/, persajakannya disempurnakan oleh persajakan bait berikutnya /ab/.”
Selain Igal-igalan, pendedah yang juga penulis 60-an buku ini memaparkan, unsur makna dalam buku menjadi penting. Buku ini menyajikan enam unsur maknanya.
Pertama, menyajikan perhubungan manusia dengan diri sendiri, dengan manusia lain (keluarga, teman, masyarakat, bangsa), dengan lingkungan, dan dengan Tuhan.
Kedua, persoalan utama: sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya.
Ketiga, tema: kekuasaan, keserakahan, ketamakan, ketakadilan, kekerasan, kemunafikan, kebohongan, kelalaian, kecuaian, ketakpedulian, keloloran, keraguan, kesengsaraan, kenestapaan (penderitaan), kepeloporan (ketauladanan), keyakinan ketuhanan, dan lain-lain.
Keempat, Amanat: Sejajar atau selari dengan pokok persoalan dan tema setiap puisi. Kelima, Nada: persuasif-edukatif. Keenam, Gaya: khas penulis atau penyairnya, sangat menonjol.
Editor: Agung