Polisi Didesak Lebih Berpihak pada Korban dalam Kasus Perempuan dan Anak

Perempuan dan anak sering kali menjadi korban dengan trauma paling berat. Kasus yang melibatkan keduanya membutuhkan keberpihakan aparat penegak hukum untuk mencapai keadilan. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo) Melva Efrida, mempertanyakan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diadvokasi lembaga itu. Proses perkara secara administatif sudah selesai dan pelaku ditetapkan sebagai tersangka sejak Oktober 2022. Namun, sampai saat ini tersangka belum diproses.

“Yang menjadi pertanyaan kami, apa yang membuat pihak kepolisian lambat khususnya Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA), dalam menyelesaikan kasus ini,” ujar Melva.

Pengalaman yang sama dimiliki aktivis perempuan yang juga Direktur Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari. Pada akhir 2022 lalu, lembaga itu mengadvokasi tiga kasus kekerasan, satu di Polres Bandung Barat, dan dua di Polda Metro Jaya. Kasus di Bandung Barat ditangani dengan sangat baik, dan proses hukum lancar. Sedangkan dua kasus di Polda Metro Jaya, kata Eva, berjalan lamban, dan bahkan satu kasus stagnan.

“Dan banyak loh, polisi wanita (polwan -red) yang ada di dalam sana. Dan saya sedih sekali ya, dua kasus ini saya menjadi saksi, ada keengganan untuk mengangkut pasal-pasal yang ada di UU Kekerasan Seksual. Padahal sudah jelas deskripsinya,” kata Eva.

Kedua pegiat ini menyampaikan testimoni dalam diskusi “Pengalaman dan Tantangan Penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Polri dalam Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan” yang diselenggarakan Komnas Perempuan. Diskusi yang digelar pada Senin (10/7) ini menjadi bagian dari upaya pembelajaran dan membangun kolaborasi para pemangku kepentingan dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan yang terintegrasi dan komprehensif.

Polisi Hadapi Persoalan

Kompol Endang Sri Lestari, Kepala Unit PPA, Polda Metro Jaya mengaku ada sejumlah persoalan klasik yang membelit mereka.

“Hambatan terbesar di UPPA ini, mungkin di seluruh Indonesia, di Polda Metro Jaya juga, hambatannya memang klasik, tapi ini fakta, kekurangan jumlah penyidik, khususnya yang sudah terlatih untuk menangani kekerasan perempuan dan anak,” kata Endang dalam diskusi yang sama.

Dia juga menambahkan, “Mengelola korban, mengelola kasus, mengelola perkara perlu adanya SDM yang bagus, yang kompeten, bersertifikasi, memiliki ketrampilan khusus dan berempati. Kalau tidak memiliki itu semua, akan sangat sulit untuk mencapai tujuan.”

Karena bagaimanapun, ujarnya, tujuan penyidikan oleh penegak hukum, selain memberikan kepastian hukum, juga adalah untuk pemenuhan hak korban.

Endang mengakui, jumlah penyidik Unit PPA di Polda Metro Jaya semakin berkurang. Padahal di sisi, ada rencana untuk membentuk direktorat baru di Polri yang khusus menangani perlindungan perempuan dan anak karena semakin banyaknya kasus.

Kendala lain dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah alat bukti ilmiah. Pembuktian dalam kasus kekerasan seksual, kata Endang, sebagian besar menuntut pembuktian ilmiah.

“Kalau kita hanya mengandalkan interogasi manual yang tidak menggunakan cara-cara lebih maju, sekarang sangat sulit untuk membuktikan peristiwa pidana. Atau sangat sulit memenuhi minimal dua alat bukti dalam pengungkapan kasus,” tambahnya.

Kendala lain yang juga klasik adalah belum adanya kesamaan persepsi di antara aparat penegak hukum sendiri. Endang memberi contoh, dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) masih sering terjadi perbedaan pendapat jika antara pelaku dan korban tidak ada bukti pernikahan yang sah. Meskipun telah ditegaskan bahwa jika kekerasan terjadi di satu lingkup rumah tangga, soal pernikahan sah semestinya tidak menjadi faktor.

“Praktiknya, kita masih banyak sekali yang tidak diterima kalau tidak ada tercatat untuk registrasi yang sah,” kata Endang.

Upaya untuk memperbaiki situasi ditempuh antara lain dengan meningkatkan kapasitas Polri sendiri dalam penanganan kasus perempuan dan anak. Sebuah direktorat baru di Kepolisian akan didirikan yang menandakan bagaimana perubahan cara pandang polisi terhadap persoalan ini.

Sekretaris Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Irjen Pol (Purn) Benny Josua Mamoto menyambut baik langkah ini, yang diiringi naiknya perhatian terhadap kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)

“Ada momentum yang tepat. Ketika masalah TPPO mencuat, akhirnya dibawa ke sidang kabinet. Di situlah Bapak Presiden memutuskan untuk membentuk direktorat baru. Terjadi perdebatan namanya, tapi akhirnya disatukan menjadi Direktorat PPA dan TPPO,” kata Benny.

Benny berharap pendirian direktorat baru yang saat ini sampai pada tahap penyusunan naskah akademik akan berjalan baik.

Kompolnas juga mendesak agar direktorat ini nantinya harus dipimpin oleh seorang direktur perempuan atau polwan bintang satu.

“Ini kami desak terus, supaya memberi harapan kepada para polwan yang bertugas di UPPA bahwa mereka bisa berkarya sampai dengan menjadi seorang perwira tinggi,”ujar Benny.

Kompolnas sendiri mencatat, pada periode 2014-2015, Polri telah merekrut sekitar 12 ribu polwan atas usulan Kementerian Perempuan dan Anak. Mereka kemudian ditempatkan di polsek dalam layanan khusus perempuan dan anak, dan Kompolnas berharap penugasan para polwan ini sesuai dengan tujuan awalnya.

Rekomendasi Komnas Perempuan

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menyampaikan sejumlah catatan upaya perbaikan yang bisa diambil. Komnas menyebut dua kelompok berbeda, yaitu Perempuan Berhadapan dengan Hukum, dan Anak Berhadapan dengan Hukum dalam kasus terkait PPA. Pemisahan ini, katanya, penting karena ruang lingkup kasus yang ditangani sangat luas, dan pemisahan akan memungkinkan konsentrasi di setiap kasus.

Komnas Perempuan memandang penambahan UU TPKS di dalam berbagai peraturan di kepolisian, penggunaan azas kepentingan terbaik untuk korban, dan dijaminnya hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan.

Komnas Perempuan juga memandang perlunya penggunaan teknologi dalam penanganan kasus semacam ini sejak awal.

“Di UU TPKS, ada salah satu mekanisme perekaman elektronik dalam konteks pemeriksaan korban. Hal ini membutuhkan diskusi atau pengaturan yang lebih teknis, bagaimana perekaman elektronis itu dilakukan,” ujarnya.

Siti juga sepakat bahwa Polri masih memiliki persoalan terkait kualifikasi dan perpektif petugas. Komnas Perempuan sendiri masih sangat terbatas kemampuannya dalam memberikan pelatihan. Ia berpendapat pentingnya ada peraturan Kapolri yang baru dengan memasukkan unsur kualifikasi dan perspektif petugas untuk menangani kasus-kasus terkait perempuan dan anak.

Komnas Perempuan juga merekomendasikan proporsionalitas penanganan Polri antara kasus TPPO dan kasus perempuan dan anak jika sebuah direktorat baru telah terbentuk.

“Kasus Anak Berhadapan dengan Hukum itu tinggi, kekerasan terhadap perempuan juga tinggi. Sehingga alangkah baiknya, sub-direktorat perempuan, dan sub-direktorat anak terpisah satu sama lain,” rincinya.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah