J5NEWSROOM.COM, Washington DC – Lutung Kasarung, yang dalam bahasa Sunda berarti “lutung yang tersesat”, adalah cerita rakyat asal Jawa Barat. Namun, apa jadinya bila sang lutung “tersesat” di AS? Anak-anak diaspora Indonesia yang tergabung dalam organisasi IKPA, baru-baru ini mementaskannya dalam teater musikal di Washington.
Lutung Kasarung berkisah tentang seorang dewa dari Kahyangan bernama Guruminda yang dikutuk menjadi seekor lutung dan diturunkan ke bumi. Tersesat di hutan, ia bertemu Purbasari, putri calon penerima takhta dari sebuah kerajaan di Pasundan yang tidak disukai oleh saudarinya sendiri, Purbararang. Oleh diaspora Indonesia yang tergabung dalam organisasi nirlaba IKPA – Indonesian Kids of Performing Arts, cerita rakyat ini diangkat menjadi drama musikal “The Cursed Princess and the Magic Monkey”.
Kostum tradisional berwarna-warni lengkap dengan aksesori adat, iringan lagu-lagu tradisional dan hasil aransemen, hingga paduan suara turut meramaikan panggung pementasan di UDC Theater of the Arts, Washington D.C, awal Juli ini. Sebanyak 106 anggota yang terdiri dari anak dari usia empat tahun, remaja hingga dewasa, asal dan keturunan Indonesia, terlibat dalam proses produksi teater itu. Peran mereka beragam, mulai dari aktor, penari, penyanyi, hingga pemain musik. Di tengah kesibukan para anggotanya, mereka menyempatkan diri untuk berlatih sejak akhir Februari lalu.
Sejak 2010, IKPA telah menjadi payung bagi komunitas anak dan remaja diaspora Indonesia, tidak hanya dalam menyalurkan bakat seni dan kreativitas, tapi juga belajar memahami warisan budaya Indonesia dan memperkenalkannya ke Amerika Serikat. “Anak-anak bisa jadi duta kecil dalam (mempromosikan) budaya dan kesenian Indonesia yang begitu kaya,” ujar Gaby Hasnan, Presiden IKPA sekaligus produser teater tersebut.
Misi mengenalkan budaya dan seni Indonesia juga diwujudkan dalam bentuk lantunan lagu yang tidak hanya berasal dari Jawa Barat seperti Tokecang, tapi juga lagu-lagu daerah lainnya, di antaranya Yamko Rambe Yamko dari Papua, Ampar-ampar Pisang dari Kalimantan Selatan, dan Mappadendang dari Sulawesi Selatan. Dipandu konduktor sekaligus komposer Ulung Tanoto, para pemusik memainkan beragam alat musik tradisional, seperti angklung, kolintang, hingga kendang, yang berpadupadan dengan alat musik modern, tanpa mengurangi unsur etniknya.
Pementasan dengan durasi sekitar 2,5 jam ini mendapat apresiasi dari lima ratusan penonton, salah satunya Elitza Kolev. Ia dan keluarganya baru pertama kali menyaksikan pertunjukan cerita rakyat Indonesia.
“Saya pribadi sangat menyukai kostum dan semua aksesorinya. Saya juga suka tarian dengan kipasnya, menurut saya, sangat indah; juga nama-nama karakter, dan aspek kebudayaannya. Saya pikir itu mengagumkan,” tutur Elitza. Pertunjukan semacam ini, menurutnya, menjadi cara yang baik dalam memperkenalkan budaya Indonesia, terutama kepada generasi muda.
Anak Diaspora Sebagai Pewaris Budaya
Lahir di Indonesia, Aiska Maura dan Keira Luna, kakak-adik pemeran Purbasari dan Purbararang, pindah ke Amerika Serikat sejak 2018. Mereka menetap dan bersekolah di AS, hingga akhirnya bergabung dengan IKPA tahun ini. Meskipun telah memiliki pengalaman berpentas di Indonesia dan AS, ini pertama kali Aiska berkesempatan memerankan karakter utama. Sang kakak, Keira, mengungkapkan rasa bangganya dapat merepresentasikan budaya Indonesia melalui karakter dalam cerita rakyat.
“Kita kan belajar tentang legenda di Indonesia, kayak Lutung Kasarung (sewaktu) di sekolah. Saya merasa bangga dapat dipercaya memerankan karakter Purbararang, bisa memainkan peran ini dan mengajarkan orang-orang lain tentang legend Indonesia dan culture Indonesia, jadi seru banget experience-nya,” tutur Keira kepada VOA.
Berbeda dari Aiska dan Keira, pemeran karakter Lutung Kasarung, Noah Kadir, lahir dan besar di Amerika Serikat. Kendati demikian, Noah, yang kini duduk di bangku SMA di negara bagian Maryland, tak lantas acuh terhadap budaya dan seni Indonesia. Pementasan ini menjadi ketiga kalinya ia terlibat dalam produksi teater IKPA yang mengangkat cerita rakyat sarat pesan moral.
“Cintai dirimu sendiri dan jangan menilai orang dari penampilannya. Ini jadi pesan yang bagus untuk anak-anak di IKPA. Saya pikir pesan ini juga bermakna bagi para penonton,” ungkap Noah tentang pelajaran hidup dibalik kisah Lutung Kasarung.
Tidak hanya berperan dalam mempromosikan budaya Indonesia, anak-anak diaspora juga memperoleh manfaat dari partisipasi mereka dalam seni pertunjukan; misalnya terjalinnya pertemanan antaranggota dan pengembangan karakter diri. Nadia Syahmalina, ibu dari Noah yang juga terlibat dalam proses produksi pementasan sebagai bagian dari tim penulis naskah, menceritakan sudut pandangnya sebagai orang tua dari anak diaspora yang terlibat dalam pementasan.
“Seni pertunjukan atau seni pada umumnya baik bagi perkembangan anak karena membantu mereka dalam mengekspresikan diri. Seni juga membantu mereka dalam mengatasi tantangan ke depan, membangun kerja sama dan melatih jiwa kepemimpinan saat berada di atas panggung,” pungkasnya. Ia berharap selesainya pementasan itu bukan menjadi akhir, melainkan awal proses bagi anak-anaknya merangkul warisan dan identitas Indonesia mereka.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah