Oleh Ilham Bintang
WADUH!
Saya diprotes beberapa kawan wartawan, nyaris pula dibully netizen yang membaca artikel “Motif Parang Rusak Dalam Kasus ‘Polisi Tembak Polisi'” yang saya tulis Jumat (12/8/2022) lalu.
Masih beruntung saya tidak senasib dengan beberapa pejabat dan tokoh, termasuk Ketua Kompolnas Benny Mamoto dan petinggi Komnas HAM yang di bully habis karena diduga mau menutup maupun lamban dan berputar-putar menyingkap kasus “Polisi Tembak Polisi”. Padahal, mereka digaji dan mendapat fasilitas untuk bekerja menurut tupoksinya.
Para pejabat itu minggu-minggu ini memang “dicuci” dipertanyakan “mens rea” nya oleh netizen di media sosial yang jumlahnya mungkin sebanyak 210 juta warga yang terhubung internet. Suara mereka menggemuruh siang malam.
Sebagian kawan dan netizen hanya menanyakan kesimpulan tulisan saya yang dinilai abstrak dan tidak tegas di bagian akhir artikel, “Motif Parang Rusak Dalam Kasus ‘Polisi Tembak Polisi'”. Mereka menunjuk prasa ini : “Biarlah motif pembunuhan Brigadir Yoshua mengapung mencari jalannya sendiri di dalam benak masing masing publik”.
Padahal, itu sikap sinis dan apatis saya terhadap otoritas. Kalau motif hanya dibuka di pengadilan itu pasti tertutup juga. Karena menyangkut kasus asusila hakim akan menyatakan sidang tertutup. Padahal, saya tidak setuju motif ditutup. Hanya saja sebagai wartawan, kode etik profesi mengikat wartawan tidak bisa memaksa sumber resmi mengungkap motif itu.
Namun, dalam kode etik jurnalistik (KEJ) yang sama ada celah wartawan menyingkap kehidupan privasi demi kepentingan publik dan kepentingan penegakan hukum. Saya kutipkan isi Pasal 9 KEJ :”Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik”.
Penjelasannya : Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Konkritnya, wartawan boleh malah berkewajiban, dengan segala upaya sendiri mengungkap kasus dan motifnya sekaligus.
Prinsip kerja wartawan secara universal memang membuka apa-apa yang kerap justru mau ditutup oleh pihak lain. UU Pers No 40/99 tiada melarang itu. KEJ yang merupakan konsep operasional wartawan “mempersenjatai” satu pasal untuk mendukung wartawan menyingkap sebuah kasus demi kepentingan publik dan demi penegakan hukum.
Silahkan baca Pasal 2 ayat h KEJ. Bunyinya : “Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.”
Kalau Perlu Curi Dokumen
Di awal kasus “Polisi Tembak Polisi” saya sudah mengutarakan hal tersebut. Wartawan Radio El Shinta menanyakan itu ketika mewawancarai saya 16 Juli 2022 lalu. Contohnya? Tanya El Shinta. Saya jawab : “Kalau pun terpaksa mencuri dokumen, rekaman, atau bukti- bukti material lainnya, monggo. Silahkan siarkan. Atau hanya mendapat keterangan sumber paling mengetahui (setelah yakin berdasar verifikasi), tapi wanti-wanti tidak mau disebut identitasnya, silahkan pergunakan keterangannya. Kalau sebab itu Anda diminta kesaksian di pengadilan, gunakan hak tolak, sehingga terbebas hukum dan tetap mematuhi kewajiban melindungi sumber”.
Pasal 6 UU Pers 40/99 menyebut Pers Nasional melaksanakan peranannya, antara lain memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan nilai- nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia; mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal- hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan memperjuangkan keadilan kebenaran. Karena peran itulah pers dianggap sebagai Pilar Keempat Demokrasi. Jika tiga pilar, eksekutif, yudikatif, dan legislatif tak bisa dipercaya lagi, pers lah andalan terakhir masyarakat.
Pertempuran Baru
Pengungkapan motif pembunuhan Brigadir Yoshua yang terjadi 8 Juli 2022 lalu memang menjadi medan “pertempuran” baru di dalam masyarakat dua minggu terakhir. Pertempuran itu muncul justru setelah Tim Khusus Polri telah berhasil mengungkap fakta peristiwa kasus yang menggegerkan dan menjadi perhatian ekstra masyarakat luas.
Mantan Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo terduga dalang pembunuhan dan tiga perwira polisi lainnya sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dikenakan penahanan dan dijerat dengan pasal pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati.
Total 36 perwira polisi dalam pusaran kasus itu diperiksa intensif. Sebanyak 16 perwira sudah digiring ke “penempatan khusus” untuk masa sebulan sambil menunggu pemeriksaan unsur pidana dari pelanggaran etikanya.
Publik Wajar Gusar
Publik wajar gusar dan terang-terangan meragukan hanya karena motif “pelecehan istri tersangka” (apalagi belakangan penyidikan dihentikan) sampai begitu banyak melibatkan perwira polisi dalam kejahatan kemanusiaan.
Dalam sistem nilai masyarakat kita yang agamis, menjaga kehormatan keluarga wajib hukumnya. Semua daerah dan etnik punya aturan dan cara mengekspresikan penegakan harga diri dan kehormatan keluarga.
Motif tersangka Ferdy Sambo dikesankan sebagai penegakan Siri’ seperti yang berlaku di dalam kultur masyarakat Bugis Makassar (termasuk Tator, daerah asal tersangka).
Siri’ merupakan urusan harga diri dan kehormatan pribadi yang lazimnya ditegakkan secara pribadi (individu), tidak melibatkan tangan orang lain, apalagi melibatkan institusi. Pertimbangan hakim dalam menghukum tersangka pelaku sering mengakomodasi motif itu untuk meringankan hukuman.
Simbol penegakan Siri’ terkenal dengan “baku tikam dalam satu sarung”. Sebuah perlambang penyelesaian secara ksatria.
Artinya, menegakkan kehormatan, harga diri, punya parameter yang terukur. Apa yang dilakukan Ferdy Sambo, tidak ditemukan dalam kultur masyarakat Bugis Makassar. Pasti ada motif di luar urusan pelecehan ataupun sekedar perselingkuhan.
Maka cukup beralasan jika masyarakat meragukan sekedar cuma motif tunggal itu, apalagi sampai melibatkan 36 perwira polisi dari pangkat tingkat rendah, perwira menengah dan perwira tinggi polri harus menanggung perbuatan itu.
Belakangan pro kontra soal motif di masyarakat justru semakin dipicu oleh pernyataan Kabareskrim Komjen Pol Drs Agus Andrianto dan Menkopolhukam Mahfud MD yang bersikukuh menolak motif pembunuhan dibuka untuk publik. “Hanya akan dibuka untuk persidangan. Itu hanya konsumsi untuk orang dewasa,” alasan Mahfud.
Artinya, seperti sudah disebut di atas motif itu tidak akan diketahui publik selamanya. Sebab dalam persidangan pun nanti, sekali lagi, hakim akan menggunakan kewenangannya menyatakan sidang tertutup karena terkait kasus asusila.
Kelompok LGBT di TNI-Polri
Adakah motif dewasa dimaksud yang disebut Mahfud MD karena mengandung penyimpangan seksualitas, seperti yang kini diduga dan ramai menjadi olok-olok netizen di media sosial? Seandainya benar demikian, apa yang harus dikhawatirkan? Mengapa harus ditutup? Pers tidak akan mungkin menyiarkan secara detail modus operandi (adegan) penyimpangan itu dilakukan.
Rasanya masyarakat pun sudah cukup dewasa menyikapi, seandainya dugaan itu benar. Pihak TNI dan Polri juga sudah sering merilis berita demikian. Dua tahun lalu media CNN memuat berita “Gempar Fenomena LGBT di Tubuh TNI & Polri, Ada Apa?”.
Berita itu mengutip keterangan resmi Ketua Kamar Militer Mahkamah Agung (MA) Mayjen TNI (Purn) Burhan Dahlan. Ia mengakui ada kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di tubuh TNI dan Polri. Burhan mengupas fenomena LGBT itu saat diajak pimpinan Mabes TNI Angkatan Darat (AD) berdiskusi mengenai isu LGBT.
“Mereka menyampaikan kepada saya, sudah ada kelompok-kelompok baru, kelompok persatuan LGBT TNI-Polri. Pimpinannya sersan, anggotanya ada yang letkol. Ini unik, tapi memang ini kenyataan,” ujar Burhan dalam video yang dikutip dari detik20, Kamis (15/10/2020).
Burhan bercerita, alasan sang anggota TNI tersebut masuk ke dalam kelompok LGBT karena yang bersangkutan merasa mendapatkan tekanan luar biasa, tatkala melakukan operasi militer Timtim, singkatan dari Timor Timur yang kini sudah terpisah dari Indonesia.
“Perwira menengah itu baru pulang operasi militer dari Timtim. Begitu dia tertekan dalam melaksanakan tugas operasinya. Sehingga dia membentuk perasaan mentalnya, dia menjadi ada penyimpangan,” kata Burhan.
Setelah melakukan operasi militer di Timtim, begitu ceritanya, sang TNI yang juga kelompok LGBT tersebut kemudian pulang ke kediamannya di Makassar.
Menurut penuturan Burhan, sang prajurit tidak menyenangi istrinya lagi. Dari hasil persidangannya kala itu, Burhan akhirnya memutuskan agar pimpinan sang anggota TNI yang masuk ke dalam LGBT agar dibimbing dan bisa kembali mencintai istri dan keluarganya seperti sedia kala.
“Bahkan dia menjadi kaum penyenang laki-laki. Itu fenomena awal yang saya sidangkan pertama kali dulu. Itu saya masukkan dalam putusan, untuk diobati oleh komandannya sampai dia sembuh,” kata Burhan.
Kemudian belakangan, rumor mengenai adanya anggota TNI-Polri yang merupakan anggota LGBT terdengar lagi. Namun kali ini, penyebabnya bukan karena tugas-tugasnya di lapangan, tapi karena pengaruh pergaulan.
Namun, ketika CNN secara terpisah mengkonfirmasi Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri, Brigjen Awi Setiyono enggan berkomentar lebih lanjut mengenai adanya rumor kelompok LGBT di lingkungan Polri yang diceritakan oleh Burhan.
Fenomena sosial apapun, apalagi memang diduga kuat menjadi motif pembunuhan Brigadir Yosua, berhak diketahui publik. Tujuannya terutama agar masyarakat mengambil pelajaran untuk mencegah perbuatan/perilaku itu meluas di masyarakat. Minimal untuk melindungi keluarganya, anak dan cucunya.
Ini sejalan dengan Perintah Presiden Jokowi yang berulang kali menyatakan agar pihak Polri membuka kasus seterang- terangnya. Perintah Presiden tidak seyogyanya dipersempit maknanya oleh Kabareskrim dan Menkopolhukam. Sebatas melindungi “perasaan keluarga pelaku maupun korban” bahkan pun “demi kepentingan institusi Polri”, melainkan seluasnya.
Yaitu demi penegakan hukum. Dengan berpijak demi penegakan hukum itu publik bisa memperoleh kepastian hukum negara akan mengatasi fenomena yang membahayakan keselamatan jiwa seluruh rakyat Indonesia.
“Salus Populi Suprema Lex Esto” atau keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Fenomena LGBT di tengah masyarakat harus ditangani seserius negara menangani Pandemi Virus Covid-19.*
Penulis adalah wartawan senior dan Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat.