100 Hari Bupati Perempuan Cen Sui Lan: Ekonomi Natuna Belum Bisa Diadili

Ketua Dewan Pakar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Kepri (kanan) bersama Ketua PWI Provinsi Kepri Saibansah Dardani. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Oleh Ramon Damora

DALAM ruang publik yang sehat, tulisan dibalas dengan tulisan, kritik dijawab dengan nalar, bukan sekadar gejolak.

Sebab itu, saya merasa perlu menanggapi artikel “Menjelang 100 Hari Kepemimpinan Cen Sui Lan, Ekonomi Natuna Semakin Terpuruk?” yang ditulis Sdr Muhammad Rapi di sebuah media lokal.

Tulisan itu menyoal turunnya performa ekonomi Natuna pasca pelantikan Cen Sui Lan sebagai Bupati Natuna pada Februari 2025.

Disorotlah keluhan nelayan, harga kebutuhan pokok yang naik, hingga dugaan dendam politik yang disebut-sebut menghentikan operasi kapal ekspor ikan ke Hong Kong.

Sekilas, narasi ini menggugah perhatian. Namun, bila ditelisik dengan cermat, ada kelemahan mendasar yang tak bisa dibiarkan begitu saja.

Pertama, jangka waktu terlalu sempit untuk menarik kesimpulan kausal. Sebuah pemerintahan daerah tak mungkin dinilai hanya dari 71 hari kerja.

Kita perlu mengingat prinsip sederhana dalam ilmu kebijakan publik: kebijakan membutuhkan waktu. Tidak ada satu pun pemimpin daerah yang dapat mengubah arah perekonomian hanya dengan simsalabim hitungan hari.

Ekonomi daerah dipengaruhi banyak faktor struktural yang berjalan jauh sebelum kepala daerah dilantik, termasuk kebijakan pemerintah pusat, dinamika pasar global, kondisi sosial masyarakat itu sendiri, bahkan warisan masalah dari rezim sebelumnya.

Menarik garis lurus antara pelantikan Cen Sui Lan dan penurunan indikator ekonomi dalam hitungan minggu tentu merupakan bentuk penyederhanaan yang salah kaprah.

Memotret ekonomi yang goyah lalu menunjuk hidung langsung ke kepala daerah baru sebagai biang keroknya, tanpa bukti kausal yang memadai, tak lain sebentuk sesat pikir atawa kesalahan logika.

Kedua, minimnya data empirik. Artikel Muhammad Rapi sebagian besar berbasis anekdot: keluhan warga, bisik-bisik pasar, rumor kontraktor.

Tidak ada data statistik yang dikutip — tak ada angka pengangguran, pertumbuhan PDRB, tingkat investasi, atau indikator fiskal yang jelas.

Sebuah kritik ekonomi tanpa data seperti bangunan tanpa pondasi: mudah runtuh ketika diterpa argumen rasional.

Kritik yang sehat perlu berbasis data yang kokoh. Bukan mengandalkan kesaksian personal: nelayan, pengusaha lokal, pun minda yang bergelap-gelap di sudut terpencil diri.

Benar. Semua keluhan perlu didengar, tetapi untuk menarik kesimpulan kebijakan, kita perlu lebih dari itu.

Kita butuh angka: berapa sebenarnya statistik resmi masyarakat yang belum punya pekerjaan di Natuna, seperti apa pergerakan Produk Domestik Regional Bruto — sebelum dan sesudah pergantian kepemimpinan —, bagaimana pula tren investasi masuk ke sana dalam lima tahun terakhir.

Kalau tergoda berbicara soal ekonomi, diskusi harus berbasis angka, bukan sekadar asumsi atau kabar burung yang “beredar” di masyarakat.

Tanpa data, diskusi publik rentan terseret emosi dan kehilangan kedalaman analisis.

Ketiga, bahasa emosional membuat tumpul pisau amatan. Istilah seperti “pukulan telak”, “keterpurukan ekonomi”, atau “menyengsarakan rakyat” berseliweran tanpa pembuktian kuantitatif.

Publik butuh analisis yang membumi, bukan dramatisasi. Emosi memang menyentak pembaca, tetapi hanya akal sehat yang bisa mendorong perbaikan nyata.

Berhati-hatilah dalam menggunakan bahasa hiperbolik. Saya haqqul yakin, amat banyak intelektual di Natuna yang mencintai diskusi berbasis logika dan menolak penggunaan bahasa kalam keletah amarah meranyah, sebab justru memecah fokus pembaca dari substansi masalah.

Keempat, dan yang tidak kalah penting, tulisan tersebut gagal memisahkan antara fakta dan spekulasi politik. Campur aduk minyak faktual dan air ghibah.

Tuduhan mengenai dendam politik pasca Pilkada yang dikaitkan dengan penghentian operasional kapal pengangkut ikan hidup dari Hong Kong adalah isu serius yang memerlukan pembuktian.

Tanpa bukti konkret membawa isu ini ke ranah publik, justru berpotensi memecah belah masyarakat dan memperkeruh suasana politik lokal.

Dalam tradisi jurnalistik yang baik lagi sehat, sebuah isu harus diuji kebenarannya sebelum disajikan, bukan disebarkan dengan dalih “masih berupa isu” semata.

Olah dulu informasinya, gali dan tabayun lagi, bukan dilempar mentah-mentah ke ruang publik. Sangat disayangkan — mengingat penulisnya konon seorang wartawan.

Amma ba’du. Saya mengajak kita semua — penulis, pembaca, pejabat, juga media — untuk mengingat satu hal penting: kritik adalah pilar demokrasi, tetapi kritik yang bermutu lahir dari disiplin nalar, bukan sekadar gejolak hati.

Sesiapapun tentu boleh (bahkan wajib) mengawasi pemimpin daerah, termasuk Bupati Cen Sui Lan. Namun pengawasan yang baik harus berdiri di atas pijakan data, logika, dan etika.

Tanpa itu, kritik hanya akan menjadi gema kosong yang lebih banyak memecah, bukan menyatukan.

Akhirnya, mari kita rawat tradisi intelektual dengan sungguh-sungguh: menulis dengan nalar, bukan marah-marah di atas kertas. Karena di ujung pena, perjuangan bukan hanya tentang siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana rakyat Natuna bisa hidup lebih kuat dengan cara bermartabat.*

Penulis adalah Ketua Dewan Pakar Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi Kepri