Wartawan dalam Pusaran Politik

Oleh Susilastuti Dwi N

HIRUK PIKUK persoalan terkait kasus kematian Brigadir J yang sudah berlangsung sejak Juli 2022 menimbulkan banyak pendapat dan penafsiran hingga akhirnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit menetapkan Irjen FS menjadi tersangka (Detik.com 9/8/2022).

Bagi orang awam persoalan itu hanyalah persoalan kriminal yang dipicu oleh masalah pribadi. Namun, bagi sebagian orang persoalan itu sudah masuk dalam ranah ‘high politic’. Semua tokoh politik dari kalangan partai politik, pemerintah.  

Elite politik bahkan pensiunan jenderal juga turun gunung urun rembug. Masyarakat melalui media sosial dengan caranya sendiri juga beropini tentang kasus itu ada yang serius, ada yang candangan dengan membuat meme hingga komentar ala rakyat jelata sederhana tapi menohok.

Tentunya menjadi pertanyaan besar mengapa kasus ini kemudian melebar kemana – mana hingga menyeret jenderal aktif terpaksa menjadi salah satu tersangka, tentunya setelah melalui ‘drama” yang hingga hari ini belum berakhir. Mungkin sebagian yang bersinggungan dengan kasus itu beranggapan bahwa setelah melalui kegaduhan, menjadi tranding topik maka secara berlahan akan mereda.

Ada asumsi tidak mungkin satu kasus akan selamanya menjadi tranding topik? Setelah reda mungkin kasus ini akan mati suri. Contohnya, kasus Munir masih menimbulkan banyak ketidakpuasan semua pihak, kasus kematian wartawan Bernas Yogya, M Syafruddin.

Di titik inilah sebenarnya wartawan justru mulai untuk menjalankan tugasnya sebagai wartawan yaitu memperjuangkan kebenaran (truth) bagi kepentingan public. Tentunya media tempat wartawan bekerja memiliki kebijakan untuk terus mendukung wartawan untuk mengungkap sebuah kebenaran.

Mengapa demikian? Kasus yang menimpa Brigadir J bukan hanya sekedar kasus biasa dari sisi apapun, sisi politik, sisi Hak Asasi Manusia dan lainnya. Indonesia adalah negara hukum di mana semua proses kesalahan yang menimpa setiap orang apapun maka hukum yang seharusnya berbicara, bukan kekerasan dengan mempertunjukkan arogansi kekuasaan.

Kasus ini juga menyeret posisi perempuan yang akhirnya menjadi pihak yang harus menjadi bagian tanpa bisa membela diri. Terlepas dari benar dan salah karena proses hukum juga masih berjalan perempuan ini yang menjadi istri FS perlu dilindungi agar tidak dimarginalkan atau menjadi ajang politisasi sebuah kasus yang masih absurd (tidak masuk akal).

Kembali ke topik semula, kasus ini semakin menegaskan posisi wartawan yang tidak bisa melepaskan diri dari dinamika politik di Indonesia. Menurut Thomas Hanitzsch dan Thomas Vos (2018) wartawan dikatakan melakukan peran penting di dua domain: kehidupan politik dan kehidupan sehari-hari.

Untuk ranah kehidupan politik, sudah diidentifikasi 18 peran yang mencakup enam kebutuhan mendasar kehidupan politik yaitu fungsi informational instructive, analytical-deliberative, critical-monitorial function, advocative-radica, developmental-educative dimension.

Tidak semua fungsi yang disebut Thomas Thomas Hanitzsch dan Thomas Vos itu dijalankan sekaligus, namun sangat terkait dengan fakta dan peristiwa yang dijumpai wartawan. Di sinilah perbedaan wartawan dengan masyarakat kebanyakan dalam melihat serentetan fakta yang menyangkut kepentingan publik.

Wartawan harus menempatkan posisinya dalam setiap kasus politik yang dijumpai. Tujuannya tetap sama yaitu memperjuangkan kebenaran (truth). Dalam konteks ini wartawan akan memainkan peran sebagai challager (penantang) terhadap pihak yang saling mengajukan klaim terhadap satu fakta atau peristiwa.

Kembali dalam kasus kamatian yang menyeret seorang jenderal aktif tadi, persoalannya tidak hanya persoalan kriminal biasa tapi ini soal pertarungan citra lembaga yang harusnya melindungi masyarakat. Semua pihak baik elite politik, masyarakat awam, keluarga korban, pihak-pihak yang terikut terkait kasus itu saling menyampaikan klaim tentunya dengan versinya masing-masing.

Apakah ada pihak yang dikorbankan, pasti karena harus ada “pihak” yang bertanggung jawab terkait kematian Brigadir J. Ini tidak lagi bicara benar dan salah secara de facto maupun de jure tapi ada rentetan misteri yang pasti bermuatan politik.

Mengapa saya katakan sebagai peristiwa politik karena kasus di atas menyangkut salah satu nilai dasar yang dicari oleh manusia yaitu keamanan. Bila masyarakat merasa tidak aman karena kehilangan trust (kepercayaan) pada institusi yang diberi tanggungjawab melindungi masyarakat maka kepentingan public terganggu.

Nah, bila sudah berkaitan dengan kepentingan public maka tugas wartawan untuk memperjuang kebenaran dan memberikan alternative terhadap kasus itu melalui karya jurnalistiknya.

Peran sebagai challenger yang bisa dilakukan wartawan dengan mengacu pemikiran Thomas Hanitzsch dan Thomas Vos wartawan menjalankan fungsi kritis-monitorial (critical-monitorial function). Fungsi ini berada di jantung pusat normatif profesional wartawan Wartawan menjalankan peran sebagai ‘Fourth Estate’.

Peran ini mencakup (a) Peran monitor adalah peran paling pasif dari tiga peran kritis-monitor (critical-monitorial function). (b) Peran detektif didefinisikan melalui berbagai praktik investigasi yang digunakan untuk meneliti klaim dan pernyataan pemerintah dan mengumpulkan informasi tentang berbagai persoalan yang wartawan anggap sebagai hal yang mencurigakan. (c) Peran pengawas (watchdog).

Legitimasi watchdog untuk bertindak di arena politik paling kuat terlihat pada posisi institusional jurnalistik ketika berhadapan dengan kekuatan yang ada.

Karya jurnalistik yang dilakukan cukup ragamnya, selain straight news, wartawan bisa melakukan news analisis, investigasi reporting, feture dan lainnya.

News analisis cukup menarik dengan memetakan perjalanan kasus sehingga public mempunyai gambaran utuh terkait kasus ini, sehingga bukan hanya mozaik-mozaik yang membinggungkan.

Liputan investigasi dalam kasus Brigadir J mutlak diperlukan oleh wartawan. Regulasi pers Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999  memberikan ruang wartawan untuk melakukan investigasi terbuka lebar.

Masih ingat kasus terbunuhnya Udin tahun 1996 lalu—wartawan yang bertugas di Yogya membentuk tim independen untuk melakukan investigasi dan rekayasa pihak kepolisian bisa dimentahkan dengan dibebaskan Dwi Sumadi yang sempat dijadikan terdakwa. Walaupun Dwi Sumadi babas namun kasus Udin belum ada titik terang hingga kini.  

Media tempat wartawan bekerja perlu memberikan dukungan karena mengungkap kasus ini wartawan akan berhadapan dengan struktur kuasa yang memiliki kepentingan agar kasus ini bisa menggembalikan trust masyarakat terhadap institusi Polri.

Penting dalam berhadapan dengan persoalan politik tetap dijalur keberadaannya sebagai wartawan yaitu mempertahankan kebenaran (truth) serta memberikan mekanisme exit (jalan keluar) agar kasus diselesaikan dengan mengutamakan kepentingan keluarga Brigadir J dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.*

Editor: Saibansah