Jakarta – Peristiwa pembunuhan Brigadir Yoshua Hutabarat yang masih menghangat sebagai topik berita sampai akhir pekan ini menunjukkan besarnya peran informasi dari media sosial dalam mengisi berita media massa. Baik itu berupa informasi langsung yang bisa dimuat ataupun tips untuk melakukan pendalaman ataupun konfirmasi agar berimbang. Apabila wartawan atau pimpinan media tidak pandai mengelola kecenderungan ini maka peran media massa sebagai acuan utama masyarakat mendapatkan berita bermutu, kian memudar.
Media massa akhirnya nanti hanya akan menjadi klangenan, barang klasik yang dinikmati orang-orang tertentu dengan status ekonomi sosial tertentu, yang rindu pada masa lalu ketika media massa menjadi gate keeper. Tempat editor-editor berwibawa memilihkan berita-berita yang mereka anggap layak dikonsumsi oleh pembacanya, dengan sajian dan menu tertentu. Untuk negara dengan jumlah kelas menengah yang besar, hidup media massa mungkin masih menjanjikan, tetapi untuk masyarakat Indonesia yang terbiasa gratis atau membayar murah, kondisinya tidak ideal bagi pengusaha media.
Kondisi waktu itu memberi kehidupan bagi media karena ikutan ekonominya pun besar, termasuk bagi pemangku kepentingan lainnya. Dan yang tidak kalah penting juga gengsi dari media massa, bagi penguasa, pengusaha, dan rakyat sebagai konsumen berita yang rela membayar karena menghargai kerja keras wartawan untuk mendapatkan informasi.
Ketika kemudian teknologi informasi semakin berkembang, pola konsumsi masyarakat terhadap informasi berubah, tingkat kepercayaan terhadap pengelolaan media berkurang, peranan media massa kian menurun. Kalau sebelumnya sumber utama dan pertama yang terpercaya, berubah menjadi sumber pembanding/referensi untuk kesahihan informasi. Untuk kroscek, meyakinkan diri bahwa informasi yang telah diperolehnya lewat sumber lain, benar atau tidak. Tentu dalam posisi ini tingkat loyalitas ikut berkurang, dari semula fanatik dan hanya percaya pada satu sumber, kini berubah menjadi percaya tetapi juga selalu ingin tahu dari sumber lain.
Kesulitan media massa untuk setia pada jati dirinya mendapat tantangan berat terutama dari semakin berkurangnya pendapatan yang berbanding terbalik dengan besarnya biaya produksi dan operasional. Biaya tinggi yang tidak boleh ditawar antara lain kesejahteraan wartawan yang terkait langsung dengan kompetensi dan integritas mereka. Mempraktekkan jurnalisme kritis dan tetap menjunjung tinggi etika bukan hal mudah di tengah kian pudarnya pagar api di hampir semua sektor pekerjaan, termasuk wartawan dan narasumbernya atau media dan pemasang iklannya. Godaannya besar.
Idealnya media massa bersifat massal sebagaimana kita alami sampai sekitar tahun 2010an, dengan tiras koran cetak bisa mencapai ratusan ribu atau puluhan ribu di Jakarta atau puluhan dan belasan ribu di daerah. Surat kabar menjadi komoditas yang memberi keuntungan tidak hanya bagi pengusahanya, tetapi juga perantara seperti agen dan loper. Orang masih menunggu berita-berita pagi, siang, dan malam dari layar televisi dan bisa terpancang di depan televisi untuk menunggu breaking news. Atau mungkin asyik mendengarkan siaran langsung dari kanal radio untuk peristiwa besar. Ini mungkin tinggal impian yang tak akan pernah terulang lagi.
Mencari narasumber adalah salah satu pekerjaan kewartawanan yang di zaman normal dapat mengukur kinerja wartawan. Menentukan apakah wartawan itu melakukan pekerjaannya sesuai standar profesi atau pengumpul informasi yang didapatkan bersama-sama atau sekadar penyalin rilis.
Di zaman Orde Baru, ada instansi, kementeritan, yang meminta agar berita harus seragam dan bahan berita sudah disiapkan untuk dimuat sesuai kehendak pemberi informasi. Atau minimal dibuatkan press release oleh kelompok wartawan, dengan lead atau beberapa alinea dipindah posisi agar tidak seragam dibaca keesokan harinya. Tentu wartawan cerdas akan mencari narasumber atau data tambahan untuk memperkaya beritanya, tetapi kebanyakan memuatnya apa adanya dan sekadar mengganti judulnya. Alasan waktu itu umumnya, untuk keamanan negara.
Tetapi di bidang lain seperti olahraga, berita apa yang dimuat umumnya hasil liputan lapangan. Wartawan bergerak dari stadion ke lapangan atau arena untuk mendapat berita pertandingan, persiapan lomba, latihan menghadapi event tertentu, atau membuat profil. Kondisi ini membuat berita di media jadi berbeda, paling tidak kelengkapan data atau sudut pandang karena pilihan narasumber yang diwawancara. Ada yang cukup puas dengan komentar singkat, lalu pulang membuat berita. Ada yang sudah riset kepustakaan atau klipping sebelum pergi ke pertandingan, ada yang menambahi informasi dengan mengamati dan menunggu suasana di ruang ganti. Atau wawancara eksklusif pelatih atau orangtua atlet.
Hidangan berita yang aneka ragam ini yang membuat masyarakat lalu bersedia membeli beberapa surat kabar, karena corak dan cara memberitakannya berbeda-beda, media menampilkan ciri khas masing-masing. Ini ada relasinya juga dengan masalah spesialisasi yang saat itu menonjol, setiap koran misalnya memiliki wartawan spesialis yang ahli di bidang tertentu. Olahraga, ekonomi, pedesaan, politik, hukum, balaikota, kriminal, misalnya, ada jagoannya yang kalau menulis pembaca akan merasa puas karena semua yang diharapkan ada di sana. Faktor wartawan bermutu luar biasa besar, tetapi perannya jadi berkurang, entah karena apa. Individu wartawan sebagai profesional bisa jadi lebih dianggap sebagai pabrik berita, pembuat konten, yang membuat sebanyak-banyaknya, dan bukan sebaik-baiknya.
Ya, semakin ke sini, kekuatan media dari berbagai aspeknya itu berkurang, dan bahkan ada yang menghilang karena kebijakan redaksional. Media massa semakin seragam dan seperti tidak ada bedanya, sementara media sosial kian menarik karena seperti memberikan apa saja tanpa tedeng aling-aling dan bahkan tidak terikat dengan editorial dan kode etik jurnalistik. Sampai kita kelimpungan karena tsunami informasi tanpa batas dan pusing memilah-milah informasi agar sesuai dengan minat dan kebutuhan kita saja.
***
Dalam pengamatan sekilas ketika berkunjung ke kantor media, berbincang dengan para wartawan atau pengelola media, saat ini semakin sedikit wartawan yang berkeringat, mengejar peristiwa ke tempat kejadian, mencari narasumber pembanding, atau menguji dan memperkaya data yang disajikan narasumber dalam jumpa pers atau rilis berita. Banyak sekali berita sudah “diturunkan” walau hanya ada satu narasumber, atau hanya berdasar rilis yang dikirimkan lembaga atau narasumber tertentu.
Persoalannya, editor juga kurang mempersoalkan ini karena KPI (Indikator Kunci Kinerja) wartawan adalah jumlah berita yang dimuat, bukan kualitas beritanya. Yang untuk media siber, dikaitkan pula dengan banyaknya orang yang membaca berita tersebut. Makin banyak diklik, makin banyak viewer, semakin baik. Tentu saja dampaknya wartawan merasa apa yang dia lakukan sudah benar. Yang banyak terjadi kemudian, mereka duduk saja di kedai kopi atau di press centre, menunggu email dari pihak humas, sambil-sambil memantau akun media sosial tokoh-tokoh politik, pejabat, atau selebritas.
Medsos telah menjadi sumber informasi utama. Termasuk di dalamnya Tiktok, yang sedang naik daun, karena siapa saja bisa membuat konten apa saja, lalu menyiarkannya di aplikasi itu. Dalam kasus Brigadir Yoshua Hutabarat, medsos menjadi sumber yang tidak ada habis-habisnya. Ada saja informasi berbeda, kadang dari orang yang tidak jelas, yang minimal, menarik untuk dilihat. Oleh media siber tertentu, diambil, lalu dilempar ke pembaca. Risiko belakangan, yang penting dapat klikbait. Patut diduga sebagian besar wartawan Indonesia memiliki akun Tiktok untuk memantau informasi yang sedang viral.
Tiktok di Indonesia, sampai kuartal pertama tahun 2022 sudah diikuti 99,1 juta orang yang berusia di atas 18 tahun, yang penggunanya pada Agustus ini pasti sudah tembus di atas 100 juta. Indonesia berada di posisi kedua, hanya kalah banyak dari Amerika Serikat yang penggunanya mencapai 136,4 juta orang, dan seluruh dunia mencapai jumlah 1,39 milyar.
Dalam penelitian yang dilakukan Universitas Prof Dr Moestopo bersama Dewan Pers pada tahun 2021 responden menempatkan Tiktok di urutan ke-8, dengan 5,96%, untuk pertanyaan, dari mana sebagai sumber informasi yang dikonsumsi sehari-hari, baik dari media massa maupun media sosial.
Posisi pertama ditempati YouTube sebesar 13,79%, diikuti WhattsApp 13,75%, kemudian Instagram 12, 63%. Berikutnya adalah Media Online/Siber sebesar 10, 91%, Televisi (termasuk streaming di media siber) sebesar 10,23%, Facebook 9,36%, lalu Twitter 6,08%. Setelah Tiktok barulah dipilih Telegram 5,89%, Surat Kabar 3,49%, Line 3,35%, Radio (termasuk streaming) 2,89 %, dan Surat Kabar Mingguan/Majalah sebesar 1,67%.
Pada riset Dewan Pers di tahun sebelumnya Tiktok sama sekali belum menjadi sumber informasi bagi responden. Kenaikannya relatif mencolok karena hampir mengalahkan Twitter, yang sudah terlebih dahulu menjadi sarana utama informasi masyarakat khususnya karena menjadi andalan Presiden AS Donald Trump.
***
Kalau ada lagi riset seperti itu tahun ini, dapat diduga kedudukan tiga sumber utama informasi bagi masyarakat masih akan ditempati media sosial, dan Tiktok akan menjadi salah satu di antaranya. Media massa, yang diwakili media siber, bisa jadi bertahan, bisa jadi tergusur. Dan suratkabar bisa jadi kian terpuruk.
Tetapi keprihatinan utama kita tentu saja performa wartawan dalam melakukan kerja jurnalistiknya. Profesionalisme mereka harus terjaga apabila media massa ingin posisinya sebagai sumber informasi terpercaya—walau sekadar pembanding—ingin terus dipertahankan. Bahkan penonjolan kinerja invidu ini mungkin perlu ditingkatkan agar bintang-bintang handal ini menjadi penanda kualitas sebuah media dan selanjutnya dapat mengikat konsumen loyal. Apabila ada 10 wartawan hebat di sebuah suratkabar dan tiap hari minimal 5 di antaranya membuat tulisan atau liputan bermutu dan menarik, pastilah pembaca mau bayar, kira-kira begitu logikanya.
Kalau pengelola membiarkan tampilan mereka semakin mirip media sosial baik karena terlalu banyak mengutip media sosial atau ataupun memuat informasi yang merasal dari media sosial, media seperti menggali kuburnya.
Di sini, peran organisasi profesi juga penting, khususnya membantu media massa yang tidak mampu secara ekonomis mendidik dan melatih awak redaksinya. Wartawan bukan sekadar angka atau jumlah, mereka itu manusia yang dapat dan berpotensi membangun bangsanya dengan karya yang menginspirasi, mendidik, dan memberi wawasan. Merdeka !!
Ciputat, 18 Agustus 2022
(*Hendry CH Bangun,
– wartawan senior
– Mantan Wakil Ketua Dewan Pers)