Buku Panduan Hari Pers Nasional 2015 ‘PERS SEHAT BANGSA HEBAT’

Buku Panitia Hari Pers Nasional 2015

Terbit Februari 2015
Penerbit : Panitia Hari Pers Nasional 2015

Dalam buku 148 halaman ini, Saibansah Dardani bersama dengan wartawan senior Harian Riau Pos dari Pekanbaru, menulis sejarah sejarah pers Melayu. Berikut tulisan kedua wartawan yang pernah sama-sama bekerja di Harian Riau Pos, grup usaha Jawa Pos Group Network (JPNN) itu.

Dari Temasik, Sejarah Pers Melayu Bermula

Oleh Sutrianto dan Saibansah Dardani *)

KORAN-KORAN harian dan mingguan serta media online yang terbit di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) hari ini, tak dapat dipisahkan dari jejak sejarah Raja Ali Kelana dan Syaikh Jalaluddin Tahir. Merekalah yang pertamakali menerbitkan majalah di Temasik, Singapura 1906 lalu. Menggunakan Bahasa Jawi atau Arab Melayu. Dari sepak terjang kreatif Raja Ali Kelana itulah, jejak sejarah jurnalisme Melayu terus bergerak, hingga hari ini.

Secara cultural, wilayah Provinsi Kepri, sesungguhnya adalah Melayu Kecil – Melayu Besar adalah Melanesia yang membentang dari Madagaskar hingga ke Kepulauan Haiti – telah menyumbangkan salah satu sumber kekayaan terbesarnya: bahasa Indonesia. Sebagai “pemilik sah” bahan baku kebudayaan – bahasa – Riau (dalam pengertian kebudayaan adalah Riau sebelum dipisahkan menjadi dua provinsi: Riau dan Kepulauan Riau) patut dicatat telah memberikan kontribusi besar dalam perkembangan tradisi kesusastraan Indonesia modern.

Tradisi intelektual dan penulisan karya sastra sendiri di Riau sebenarnya baru berkembang pada abad ke-19. Namun sesungguhnya – sebagaimana tradisi sastra nusantara pada umumnya – sastra Melayu Riau sudah ada jauh sebelum itu dengan hidup dan berkembangnya tradisi sastra lisan yang membentang di sepanjang Kepulauan Bintan (Kepulauan Riau), Siak Sri Inderapura dan Inderagiri. Pada abad ke-16, misalnya, tanah Melayu yang membentang di sepanjang Tanah Semenanjung (Malaka = Malaysia) hingga ke Borneo (Kalimantan), Kepulauan Moro (Filipina) dan Kepulauan Riau, telah menghasilkan karya-karya agung seperti Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu) dan Hikayat Hang Tuah.

Di Kepulauan Riau tradisi sastra lisan ini menemukan bentuknya yang spesifik dalam bentuk tradisi tulisan dengan munculnya sejumlah intelektual-sastrawan kerajaan di Penyengat dengan Raja Ali Haji sebagai master.Terbitnya buku Kitab Pengetahuan Bahasa karya pujangga terkemuka Riau ini pada pertengahan abad ke-19 (1857) menunjukkan bahwa pembinaan susastra tulisan sudah cukup berkembang di kawasan ini.Patut dicatat bahwa perkembangan tradisi intelektual dan susastra tulisan ini sangat berkait-kelindan dengan lahirnya penerbitan persuratkabaran di Riau, terutama di wilayah segi tiga Riau-Johor-Singapura.

Ketiganya – tradisi intelektual, susastra tulisan dan persuratkabaran – bergerak secara bersamaan yang kemudian disebut sebagai ’’kepandaian dalam berbudaya (ilmu tarasul), yang pada mulanya diawali dengan kebiasaan surat-menyurat.’’ (Hasan Junus, 1988) Namun demikian, tradisi persuratkabaran dengan manajemen jurnalistik modern baru benar-benar ada setelah tutupnya abad ke-19 dengan terbitnya majalah Al Imam yang dikelola oleh Raja Ali Kelana dan Syaikh Jalaluddin Tahir di Singapura pada tahun 1906.Walaupun majalah yang menggunakan bahasa Jawi atau Arab-Melayu ini terbit di Singapura, namun para pengelolanya merupakan orang-orang Riau yang menyeberang ke negeri Tumasik dalam rentang waktu abad ke-19 yang ketika itu masih menjadi bagian dari wilayah Riau.Setelah ditandatanganinya Perjanjian London, 2 Agustus 1824, kedua wilayah ini terbelah menjadi Riau dan Malaka.

Sulit membedakan relasi yang signifikan antara tradisi susastra tulisan dan tradisi jurnalistik ini, sebab keduanya saling mempengaruhi.Bahkan, secara tidak langsung tradisi persuratan ini telah menyediakan tempat persemaian yang subur bagi berkembangnya diskursus kesusastraaan, hukum, budaya, agama dan sebagainya.Riau Kepulauan boleh dikatakan sebagai sentral pertumbuhan tradisi intelektual, walaupun sebenarnya pada abad ke-19 itu telah berdiri sejumlah kerajaan besar di Riau, seperti Siak Sri Inderapura, Inderagiri, Rokan, Pelalawan dan sebagainya.

Terbitnya buku Raja Ali Haji Syair Abdul Muluk di Singapura pada tahun 1861 oleh percetakan Saidina dan Haji Muhammad Yahya menunjukkan bahwa percetakan (press) turut mendukung pula perkembangan susastra di kawasan ini (buku Raja Ali Haji ini sebelumnya dicetak di Batavia pada tahun 1846). Di Riau sendiri, dalam pengertian geografis, tradisi percetakan baru ada tahun 1886, dengan diterbitkannya buku-buku Raja Ali Haji di percetakan Litografi Pejabat Kerajaan Lingga di Daik.Tahun ini merupakan puncak perkembangan tradisi tulisan di Riau dengan berdirinya perpustakaan pertama “Kutub Khanah Yamtuan Ahmadi”, dan dua percetakan besar “Mathba’at Al-Riuawiyah” dan “Mathba’at Al-Ahmadiyah”.

Pada tahun ini pula ditubuhkan perkumpulan cendikiawan “Rusdiah Klab” yang kelak akan menjadi kelompok thing-tank dan sekaligus sebagai kontributor utama bagi berkembangnya majalah Al-Imam. Berdirinya perkumpulan “Rusdiah Klab” perlu mendapat catatan khusus pula karena lembaga kebudayaan non-pemerintah ini mampu bersikap sebagai pressure group terhadap pemerintah.

Sepanjang 18 tahun antara berdirinya perkumpulan “Rusdiah Klab” dengan berdirinya dua percetakan besar tersebut telah memberikan ruang yang cukup besar bagi lahirnya intelektual muda yang di kemudian hari sangat berperan dalam membangun Al-Imam. Dalam rentang inilah lahir karya-karya budaya agung di Riau, yang dicetak baik di Riau sendiri oleh percetakan “Mathba’at Al-Riawiyah”, “Mathba’at Al-Ahmadiyah”, percetakan Saidina dan Haji Muhammad Yahya di Singapura maupun oleh percetakan di Batavia dan Belanda.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa tradisi atau cikal-bakal lahirnya susastra modern di Riau sudah diletakkan pondasinya pada pertengahan abad ke-19. Namun demikian, tradisi sastra yang lahir di kawasan ini masih menggunakan gaya pengungkapan sastra Melayu Lama, seperti pantun, syair, gurindam, dan hikayat. Perlu dicatat, seperti telah disebutkan di atas, keberadaan Haji Ibrahim pun ikut mewarnai susastra di kawasan ini dengan diaksarakannya cerita-cerita lisan seperti Lebai Malang dan Pak Belalang dalam bentuk cerpen.

1