Post-World, Glokalis Atau Geo-Ideologis

Muchid Albintani

Oleh Muchid Albintani

POST-WORLD, Glokalis dan Geo-Ideologi adalah bagian tak terpisahkan, berklindan dengan studi terkait ‘Korporaglobalite’. Korpora adalah bagian penting dari makar usaha (upaya konspirasi melalui kegiatan ekonomi) berskala dunia. Global pun tak jauh beda yang menginsipirasi semua kegiatan dunia yang berhubungan dengan misi besar khusus.  

Sementara elite adalah sekelompok, segelinitir orang yang menguasai kegiatan bisnis (ekonomi), perbankan dan organisasi besar dunia. Mereka (para elite global) pun mengendalikan politik  dan keamanan termasuk militer dunia. Mereka adalah otak sekaligus aktor pelaksana misi besar khusus tersebut. Mereka memiliki ideologi yang bersekutu-paham azazilisme.

Tulisan kedua dalam kolom ‘Korporaglobalite’ kali ini memberikan sumbangan awal untuk mengulas-ringkas ihwal kolom ‘Korporaglobalite’ di media ini. Pada tulisan selanjutnya, serba sedikit altar kehadiran rubrik ini tetap diulas-singkat. Semoga dapat membantu agar terus terdeteksi berbagai lakon-laku mereka menuju Post-Word.

Post-World (setelah dunia, maksudnya alam dunia): Lalu apa? Post-World esensinya, tidak lagi menandai masa lalu, melainkan transisi: antara seperdetik masa lalu menuju seperdetik masa datang pasca dunia.  Oleh karena itu, mengantisipasi Post-World inheren bagi umat mempersiapkan bekal menuju Yaumul Hisab sebelum ke Yaumul Mizan.

Menuju Post-World Kehadiran ‘Korporaglobaite’ berupaya merakit-elaborasi istilah Glokal, Globalis, dan Geo-Ideologis. Menuju Pos-World berbagai peristiwa di antaranya ke-nubuwah-an (eskatologi) merupakan jalan untuk mengantisipasi supaya umat mendapat keselamatan menuju Yaumul Mahsyar.

Berklindan-pancang pengetahuan ilmu antisipasi adalah asbab penting jika istilah Glokal Globalis (Glokalis), dan Geo-Ideologis perlu diungkap-paparkan walaupun serba ringkas.

Pertama, Glokal. Istilah Glokal menginspirasi cara berpikir global, namun berposisi atau berlokasi pada aras lokal. Istilah ini populer di Malaysia hamper dua dasawarsa lalu sebagai antisipasi dampak negatif-positif Globalisasi.

Merespon memaknai esensi Glokal, referensi akademis buku yang bertajuk: “Gelobalisasi, Peserta atau Mangsa” turut menjadi bahan telaahan utama. Begitulah Glokal sebuah inspirasi berasbab pemikiran.

Belajar dari muncul-mengemukanya istilah Glokal menunjukan seolah-olah Globalisasi adalah sebuah proses keniscaaan yang tak dapat dihentikan. Manakala Glokal adalah wujud lain bagian esensi mengejar ketertinggalan sebagai upaya mentransformasi ilmu dan pengetahuan.

Dalam hubungan ini, Glokal identik dengan cara berpikir, tidak justru bagian perlawanan arus Globalisasi. Jadi, esensinya Glokal adalah istilah yang berkarakter melawan dalam format intelektual, tapi bukan produk atau kebijakan.

Kedua, Globalis. Tak banyak yang menyadari sebelumnya ihwal istilah Globalis yang sudah teramat banyak disebut-sebut di penghujung zaman ini. Yang banyak muncul-mengemuka justru hanya hasil produknya yang oleh orang-orang dikenal dengan sebutan Globalisasi.

Sementara Globalisasi wujud produknya yang berbasis teknologi, barang mewah, merek dagang, intertaimen, dan yang lainnya. Perwujudan produk ini, tanpa sadar mempengaruhi prilaku manusia  yang seolah-olah bukan disebabkan Globalisasi.

Padahal banyak referensi akademis mengingatkan jika Globalisasi adalah produk kaum Globalis. Sederhananya, Globalis adalah orang per-orangan yang berkolaborasi menjadi kelompok atau organisasi yang berkarakter eksklusif menguasai tata-kelola dunia. Dalam konteks menyambut keberadaan kaum Globalis inilah, tulisan ini memfokus-cermati ihwal asbab motivasi utama kaum Globalis yang berbasis ideologis.

Ketiga, Geo-Ideologis. Mahfum diyakini jika negeri ‘bukan lautan hanya kolam susu’, ini dijuluki strategis oleh karena kedudukan, bukan saja di antara dua Samudra, Hindia dan Pasifik, juga dua benua, Asia dan Australia. Kedudukan ini berdampak dilaluinya jalur perdagangan dunia.

Yang tak kalah pentingnya negeri ini berada di lokasi perairan yang kaya sumber daya alam. Walaupun eksprimentasi keuntungan dari kedudukannya tersebut tidak akan pernah (bahasa optimisnya belum) terimplementasi hingga saat ini. Sementara, jika dicermati berpedoman Geo-Ideologis, konsekwensinya amat sangat mendalam.

Pengalaman sepanjang sejarah perjuangan dari masa kemerdekaan, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila sampai ke Reformasi-Oligarki justru berkontribusi negatif-memprihatinkan.

Yang jika tidak menjadi perhatian serius, dikhawatirkan sebelum zaman berakhir, namanya duluan tiada. Atau tidak lagi “bukan lautan hanya kolam susu”, melainkan ‘negeri cindai mbambo’.

Ketiadaannya diperkirakan bukan hanya isapan jempol belaka. Mari cermat-telaahi dari sisi Geo-Ideologis, di antaranya jika di negeri ini terus dalam tahapan ‘pertarungan ideologi’ yang masih akan belum selesai. Kemelut RUU HIP dengan isu upaya perubahan dasar negara dari Pancasila ke Tri atau Eka Sila adalah identifikasi muncul-mengemukanya ‘pertarungan Islam vs Komunisme’ (walaupun secara regulasi, paham ini masih dilarang).

Sementara Nasionalis adalah besutan  cara berpikir Glokal. Bahkan kondisi aktual-kekinian di negeri ini yang secara ideologis sedang berlangsung kolaborasi antara ‘kaum munafiqun’, ‘new communism’ (banyak yang menyebutnya dengan istilah ‘komunis gaya baru’) dengan kaum Glokalis.

Mencermati ketiga istilah ini dalam lanskap Post-World merupakan refleksi yang menjadi determinasi pilihan, bukan sebuah keniscayaan. Sebelum Post-World dengan menggunakan Geo-Ideologis sebagai perspektifnya, keberadaan Globalis dapat dicermati yang menghasilkan dua argumentasi.

Pertama, keberadaan kaum Globalis adalah pengusung ideologi Cabalis yang memperdaya ke-Tauhid-an berperoses menuju syirik (ateis). Kaum Globalis adalah agen tunggal pembawa “misi khusus” yang wajib diketahui untuk diantisipasi.

Propaganda kaum Globalis berhasil meruntuhkan akhlaq umat. Contoh sederhana sebuah peristiwa tatkala menyikapi prihal penghinaan terhadap umat (Islam) melalui peloncoaan kartun nabi. Peloncoan jelas berupa penghinaan selalu dibela dengan argumentasi ‘kebebasan berekspresi’.

Sementara, manakala ada perlakuan yang sama terhadap kum Yahudi, diklasifikasi sebagai ‘Anti-Semit’. Belum lagi jika di Uni Eropa (UE), seseorang yang  menafikan keberadaan Holocaus, misalnya, mendapat sanksi hukum sesuai regulasi UE. Inilah sejumput kelucuan dari banyak contoh lainnya.

Kedua, keberadaan kaum Globalis adalah pengusung faham materialisme. Faham ini sukses menjadikan pembangunan yang selalu diasosiasikan sebagai materi. Dalam versi lain, materi dikenal dengan sebutan proyek. Yang berkonsekwensi pada setiap membangun fisik (bangun jalan, jembatan atau lainnya) yang mengemuka selalu instrumentasi berupa ‘fee’ (rente).

Istilah kerennya, ‘bagi-bagi proyek’ atau ‘persentase buat saya berapa’ (berapa persen buat saya). Dalam konteks kesuksesan ini pula, maka perlu dicermat-kritisi ihwal pendapat jika paham Komunis (komunisme) dan Kapitalis (kapitalisme) adalah saudara kembar yang sengaja ditugaskan oleh kaum Globalis untuk merusak akhlaq umat.

Bersandarkan kedua argumentasi ihwal kaum Globalis: bukankah semuanya menuju pada karaktar individualis? Hanya saja perbedaannya, ‘individu yang memproduksi keserakahan dengan individu yang menjauhi keserakahan’.

Itulah sebabnya pertanggungjawaban untuk menjauh dari siksa neraka adalah refleksi dari individu dulu, baru keluarga.

Ingat: “Jauhkan dirimu, dan keluargamu dari api neraka”.

Semoga.*