Pada kalimaat ketiga ada disebutkan oleh penulisnya tentang Gibran dan Abduh (Muhammad Abduh yang dimaksud), lalu mengapa saya menggantinya dengan Rumi? Perbedaan ini menunjukkan bahwa saya dengan Muchid ketika menafsirkan tentang Rindu (representasi) Cinta, jelas berbeda.
Ini dilandasi hemat saya, sajak yang dimaksud oleh karena lebih pada Cinta yang ‘men-sufi’ (ke arah sufi], berbanding Iqbal yang lebih filosofis, tetapi tetap realistis.
Itulah sebabnya mengapa berlatarbelakang dua konsep antara Rindu (Cinta), dan Dini [boleh jadi objek Rindu yang dimaksud], bagi saya Dini, tidak hanya diskripsi dari eskalasi perasaan yang bergerak, berputar penuh dinamika dalam jiwa yang siapa saja pernah atau mengalami.
Dini juga bagi Muchid, menurut saya sesungguhnya personifikasi sekaligus motivasi usaha yang menggerakan sehingga menyelesaikan buku kumpulan sajak ini. Penyelesaian atau buku ini juga adalah representasi tututan (doa) penulisnya yang mempertegas tafsir orang pada umumnya, khususnya tentang usaha pencarian yang dimaksud.
Lalu apa yang dicari penulisnya? Inilah makna pencarian yang menurut saya harus didekati secara ‘subjektif’ perasaan penulisanya yang seolah-olah sedang ‘men-sufi’ (dapat dimaknai orang yang sedang melakoni sufi dalam arti khusus atau tertentu].
Berlatarbelakang argumentasi inilah yang saya maknai sesuai yang dijelaskan oleh Jalaludin Rumi dalam sajak, ‘Rindu Langit’. Sajak ini bagi saya merupakan ‘padanan yang sungguh belum sepadan dengan Rindu Dini. Berikut kutipan sajak tersebut:
“… Jika terus kau jaga harapanmu, yang merindu pada Langit,
walau sampai gemetaran engkau bagai daun diterpa angin,
maka air dan api ruhaniyah akan muncul, dan meningkatkan kesejatianmu.
Tak diragukan lagi, rindumu itu yang kan membawamu sampai ke sana.
Jangan hiraukan kelemahanmu yang harus kau jaga itu adalah kedalaman rindumu.
Sesungguhnya pencarian ini adalah janji Tuhan dalam dirimu,
karena setiap pencari layak dapatkan apa yang dicarinya.
Tingkatkan pencarianmu, sampai qalb-mu merdeka dari penjara yaitu
ragamu sendiri.
Biarkan saja orang awam mengatakan,”sungguh malang nasibnya, dia telah mati”
mereka tak mendengar jawabanmu “sesungguhnya aku hidup, wahai orang lalai ….“
Membaca Rumi dalam Rindu Langit ini sebagai ejawantahan penulisnya sesuai yang saya jelaskan sebelumnya walaupun tak sepadan dengan Rindu Dini. Paling tidak pun, selain Rindu Langit Rumi, masih ada Gibran yang juga menyepadankan antara Rindu Dini (Cinta) dengan Cinta (Rindu] dalam ‘Syair-syair Cinta’ Gibran.
“…Cinta berlalu di depan kita
terbalut dalam kerendahan hati,
tetapi kita lari dari padanya
dalam ketakutan, atau
bersembunyi di dalam kegelapan,
atau yang lain mengejarnya,
untuk berbuat jahat atas
namanya.”
Benar kata Rummi dan Gibran pada kerendahan hati menafsir Cinta melalui kesungguhan Tuhan, sungguh penulis antologi ini ingin ‘berposisi’ yang tanpa jarak. Berdasarkan pada pendapat atau argumentasi seperti inilah untuk kemudian ketika dalam penyelesaiannya mengalami proses dinamika hati.
Maka inilah yang pada akhirnya, antara Rindu dan ‘Dini’ selain ada cinta. Jangan lupa ada Tuhan, dan para penjaga Cinta. Percaya atau tidak sesungguhnya makna sekaligus jawabannya walaupun ‘sementara’, harus sependapat dengan Muchid Albnitani sang penulis, bahwa kita semua pernah, sedang atau akan jatuh cinta!
Sebagai penutup kata [epilog], begitu tegas, jelas dan logis sangat sudah memisahkan antara Muchid, Rindu ‘Dini’, dan Cinta. Yang boleh jadi Cinta, Rindu dan ‘Dini’ telah bersebati dengan sang penulisnya!
Kampus STSR, Januari 2015
Kazzaini Ks, lahir di Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan empat puluh-an tahun yang lalu. Saat ini adalah Ketua Yayasan STSR [Sekolah Tinggi Seni Riau]. Pengalaman jurnalistik dilakoninya di koran kampus Bahana Mahasiswa sejak menjadi mahasiwa di Program Studi Bahasa dan Sastra FKIP Unri era 80-an. Selain sebagai jurnalis, Kas biasa ia disapa dikenal juga sebagai sastrawan dan penyair. Karya puisi dan cerpennya, banyak dimuat di pelbagai media masa lokal dan nasional. *
2