The Border Watchdog

BAB 2

BELAJAR DARI OPERASI CIA MEMBURU OSAMA

KEBERHASILAN pasukan elit Amerika Serikat Navy SEAL’s melakukan penyergapan dan melumpuhkan untuk selamanya tokoh sentral Al Qaedah, Osama Bin Laden di sebuah mansion di Abbotabad, 60 kilometar dari Ibu kota Pakistan, Islamabad, Ahad (1/5) lalu, tak bisa hanya dipandang sebagai satu keberhasilan operasi militer semata. Tapi ini adalah bagian paling ujung dari sebuah operasi intelijen besar yang melibatkan ratusan agen di seluruh dunia. Tidak hanya itu, operasi ini juga membutuhkan waktu hampir sepuluh tahun dengan peralatan pengintaian dan klandestin yang canggih. Tentu saja, biayanya tidak murah. Bagaimana badan intelijen AS, CIA melakukan operasi memburu target utama negara Paman Sam itu?

Harian The New York Times dan Washington Post mengutip keterangan sejumlah pejabat AS, Jum’at, 6/5. Setelah CIA berhasil mengendus posisi lokasi persembunyian Osama, maka para agen melakukan operasi pengintaian secara tertutup. Bahkan, tertutup dari para agen dinas intelijen Pakistan, ISI. Para agen CIA membuat sebuah pos pengintaian dari sebuah rumah di sekitar mension tempat persembunyian Osama. Itu dilakukan setelah CIA berhasil mengikuti jejak sang kurir kepercayaan Osama, Abu Ahmed al-Kuwaiti. Nah, dari sebuah rumah itulah, pos pengintaian CIA mulai diaktifkan, Agustus 2010 lalu.

Para agen CIA menggunakan kamera berlensa tele dan kamera infra merah untuk mempelajari detil sudut-sudut rumah calon target operasi. Juga, berbagai perangkat penyadap super sensitif digunakan untuk mencuri dengar setiap komunikasi verbal dari dalam rumah. Peralatan CIA itu juga mampu mencegat semua pembicaraan melalui telepon seluler. Belum lagi peralatan radar yang sudah dipersiapkan untuk melacak berbagai kemungkinan jalur-jalur yang bisa digunakan bagi TO (target operasi) untuk melarikan diri lalu sembunyi.

Melihat begitu banyak peralatan canggih pengintaian itu, sampai-sampai CIA meminta tambahan biaya operasional, Desember 2011 lalu. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa info intelijen yang disampaikan CIA kepada user-nya, Presiden AS Barrack Hussein Obama, tepat dan memiliki akurasi di atas 90% alias masuk katagori A1. ”Tugas CIA adalah mencari dan menetapkan (target operasi). Saat tugas intelijen sudah tuntas, giliran militer yang bertugas menghabisi sasaran,” papar pejabat AS yang tidak disebutkan namanya itu.

Lalu, pelajaran apa yang dapat kita petik dari sebuah operasi intelijen AS itu? Terkait dengan pembahasan RUU Intelijen saat ini yang masih menyisakan beberapa masalah krusial dan memasuki tahap rumit, diantaranya adalah kewenangan bagi agen badan intelijen kita, BIN, melakukan penangkapan. Dari paparan pejabat AS di atas sangat jelas, bahwa tugas seorang agen hanyalah mengumpulkan info sebagai produk intelijen dengan kualitas A1. Caranya, bermacam-macam sesuai dengan standar operasi inteljen baku yang biasa dilakukan para agen di seluruh dunia. Mulai dari klandestin, elisiting, intersap, infiltrasi, cipta kondisi, opinion building dan sebagainya. Selanjutnya, setelah sebuah produk intelijen sudah siap dikirim kepada user, yaitu Presiden SBY. Maka, tuntaslah tugas para agen lapangan sampai di situ. Selanjutnya, tinggal melakukan pemantauan dan menunggu tim lain yang akan dikirim oleh Presiden dalam melakukan eksekusi atas TO yang ditetapkan. Seperti dalam kasus perburuan Osama, tim yang dikirim oleh Presiden Obama adalah pasukan elit Navy SEAL’s. Lalu, untuk apa BIN menuntut kewenangan melakukan penangkapan? Inilah topik yang dalam beberapa minggu ini menjadi topik hangat di ranah wacana publik di Indonesia.

Dapat dipahami jika intelijen menginginkan kewenangan melakukan pengkapakan 7×24 jam. Sebab, di masa orde baru, agen intelijen diberi kewenangan untuk menangkap dan menginterogasi target tanpa harus melalui proses projustisia. Kewenangan inilah yang mungkin dirindukan oleh intelijen kita. Karena dengan kewenanga itu, dulu mereka berhasil melakukan antisipasi atas gerakan-gerakan radikal yang mengancam keamanan dan kedaulatan negara. Tapi dalam alam demokrasi, kewenangan itu dinilai sudah tidak pas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Bahkan, agen intelijen AS, CIA pun tidak diberi kewenangan melakukan penangkapan. Mereka hanya bertugas mengumpulkan info dan membuat produk intelijen dengan kualifikasi A1 tanpa menangkap. Seperti yang mereka lakukan mengintai selama berbulan-bulan di dekat rumah persembunyian Osama Bin Laden. Meskipun sudah memastikan TO berada dalam rumah yang dipantau, tapi tidak ada satu pun agen CIA yang merangsek masuk lalu menangkap sang target. Mereka terus menunggu sampai user mengirim tim. Apakah itu berarti, CIA tidak dapat ”nama” dari keberhasilan operasi militer Navy SEAL’s? Tidak, mata dunia juga sudah tahu, bahwa keberhasilan operasi militer menuntaskan sebuah misi, adalah rangkaian tak terpisahkan dari sebuah operasi intelijen CIA.

Memang, mendapatkan info dengan cara seperti CIA tersebut harus didukung peralatan canggih dan biaya yang besar. Sehingga, meskipun tidak diberi kewenangan menangkap, CIA tetap dapat melakukan pengumpulan info kualitas A1. Memang, dengan diberi kewenangan menangkap, maka intelijen kita akan dapat dengan mudah mendapatkan info, dan biayanya pun murah. Seperti yang dilakukan oleh CIA secara tertutup di Penjara Guantanamo Kuba. Dari berbagai teknik interogasi di sana, CIA berhasil mengorek info-info penting terkait gerakan terorisme internasional. Tapi karena bertentangan dengan prinsip demokrasi, maka dunia pun mengecam langkah CIA di Guantanamo itu dan Obama pun kemudian menutup penjara paling kejak di dunia itu.

Jika demikian, belajar dari langkah-langkah CIA, setidaknya itu sudah cukup menguatkan hati intelijen kita untuk melupakan kewenangan melakukan penangkapan. Biarlah instansi projustisia yang melakukan itu, polisi dan jaksa. Lebih baik, intelijen kita fokus pada mengumpulkan info dan membuat produk intelijen yang berkualitas, jujur, kredibel dan berwibawa. Dan, tetap teguh berpegang pada prinsip dasar seorang agen : berhasil tidak dipuji, gagal dicacimaki, mati tidak dicari. Selamat bertugas para insan intelijen di seluruh Indonesia. *

11