The Border Watchdog

HYPER MARKET BERNAMA OPL

Hyper market sebenarnya bukan yang berada di mal-mal. Tapi yang eksis di atas gelombang outer port limit (OPL). Benarkah? Apa yang tak bisa dibeli di OPL?

OPL adalah ”pasar”, tempat penjual dan pembeli bertemu. Berada di luar wilayah hukum negara-negara yang berbatasan di sekitarnya. Bebas. Yang berlaku adalah hukum internasional. Asiknya, jarak OPL hanya “seperlemparan batu” dari bibir pantai perairan Provinsi Kepri. Hanya butuh waktu tak sampai satu jam bila disusuri dari Tanjungbalai Karimun atau pun dari Pulau Batam. Apalagi, dari 12 pulau terluar di Provinsi Kepri. Dekat sekali. Maka, jangan heran jika warga yang tinggal di perbatasan, sudah sangat akrab dengan OPL. Karena OPL adalah ladang mengais rezeki.

Kalau kurang yakin, tanyakan kepada Hamdan (37), Masnawi (38), Sulaiman (23), Kasirin (25), mereka adalah warga RT 2 RW 2 Tanjung Buntung Batam. Pada hari Rabu, 23 Februari 2011 lalu, mereka bernasib sedikit sial. Perahu kayu (pompong) yang mereka naiki dihantam ombak setinggi 2 meter dan tenggelam di perairan OPL. Untunglah sebuah kapal KRI Silea sedang berpatroli. Sehingga mereka pun bernasib mujur, tak meregang nyawa di “hyper market” OPL.

Mengapa mereka repot-repot ke OPL? ”Kami rencananya mau ke OPL bagian barat, mau jualan di sana, tapi dihantam ombak sampai pompong kami tenggalam. Sudah lama kami kerja seperti ini, biasanya kalau hasil melaut nggak lagi banyak.” Demikian, tutur Masnawi.


Masnawi bersama rekan-rekannya berniat menawarkan barang-barang berupa makanan dan minuman kepada para awak kapal yang lego jangkar sementara diparkirkan di OPL. Barang yang mereka bawa berupa pisang 30 kilogram, rokok berbagai merek sebanyak 12 sloft dan minuman soya sebanyak 30 piece.

Tentu bukan hanya pisang yang dijual di OPL. Seorang ”pemain” bisnis di OPL pernah “menantang” penulis. Mau beli apa? Sebut saja! Maka, iseng saya sebut : senjata. Bukannya surut, si ”pemain” malah bertanya lebih detil, berapa biji yang diperlukan dan jenis apa. Mulai dari laras pendek sampai panjang. Asal harga cocok, deal! Syaratnya, transaksi harus dilakukan di OPL. Pembeli dan penjual datang sendiri-sendiri.

Penjual di OPL seperti Masnawi bukan hanya warga Indonesia saja. Masih ratusan Masnawi lain lagi di OPL. Mereka bukan hanya menawarkan pisang, tapi juga kebutuhan lain. Mulai dari kebutuhan kapal, sampai dengan kebutuhan lahir para awak kapal. Termasuk, maaf, kebutuhan batin mereka. Ya, “ikan duyung” pun ditransaksikan di OPL. Tentu saja, semuanya dikendalikan oleh networking. Sebab, pembeli tidak mau mengeluarkan uangnya kepada “pemain” baru. Begitu pula penjual, tak sembarangan bisa menembus karang hyper market OPL.

Sekarang ilustrasi, 26 Mei 2009 lalu, Kapal Polisi (KP) Baladewa yang dikemudikan oleh

Babinkam Mabes Polri berhasil menangkap kapal tanker SV Pertamina Supply 33 milik PT Pertamina Tongkang, Jakarta dan KM Aqua Marine milik seorang pengusaha Batam. Tentu bukan tanpa alasan, mereka sedang “kencing” alias ship to ship solar untuk diperjual belikan di OPL. Jumlahnya tidak main-main, 215.000 liter high speed diesel (solar murni). Tapi sayang, jumlah minyak yang baru dimasukan ke dalam tanki nomor 3 yang ada di kapal bertonage 438 GT itu sebanyak kurang lebih 40.000 liter (40 kilo liter). Dua tangki lainnya yakni tangki 1 dan 2 telah terisi penuh. Aksi penyelundupan ini keburu ketahuan. Suranim, awak kapal penyelundup itu mengaku, sekali beraksi di OPL, ia bisa menjual kurang lebih 50 ton per hari. Harga solar yang dibeli dari kapal-kapal yang ”kencing” di laut sekitar Rp3,4 juta per ton.

Itu baru solar. Yang lebih patut dikhawatirkan adalah pengakuan seorang kapten kapal yang tertangkap oleh patroli TNI AL di perairan Kepri sedang melakukan pembajakan, Septiono. Dia mengaku pernah menyulundupkan senjata 1 kontainer yang dibawa dari Surabaya ke manokwari dengan menggunakan KM Sentosa. Septiono juga mengaku pernah membuang limbah cair milik Singapura di perairan OPL.

Tak hanya itu, dari gelombang yang bertemali dari perairan OPL juga terkirim limbah. Catatan terbaru, pada Senin, 9  Januari 2012 lalu, angin membawa limbah cair berwarna hitam ke bibir pantai kawasan pariwisata Lagoi di Pulau Bintan. Tentu saja, limbah itu bukan ujug ujung terus muncul. Dia dibuang oleh kapal-kapal tanker yang berlabuh sementara di perairan OPL. Inilah salah satu ”berkah” pahit hidup di perbatasan. Singapura yang memproduksi limbah, warga di pesisir perairan Kepri yang menanggung dampaknya.

Maka, sebagai warga yang hidup di perbatasan, sudah sepatutnya kita bergerak dan melakukan langkah-langkah tegas. Bayangkan, apa yang dilakukan oleh Singapura atau pun Malaysia, jika mereka dapat kiriman ”asap” baik asap putih (karena kebarakan hutan) maupun ”asap” hitam karena tumbahan limbah cair? Sudah pasti, mereka akan berteriak keras dan lantang. Lengkap dengan langkah-langkah tindakan kongkritnya. Kita??? *

14