KAPAL PERANG MADE IN BATAM
SETELAH 66 tahun merdeka, tak ada alasan lagi untuk menunda. Perkuat industri strategis, yang telah kedodoran sejak republik ini diguncang badai reformasi. Dalam konteks sebagai negara bahari, yang harus diperkuat adalah industri kapal perang canggih yang mampu bergerak cepat. Hukumnya sudah jatuh ke ranah wajib. Sebab, dalam doktrin kaidah ilmu Usul Fiqih, “sesuatu” mejadi wajib jika pekerjaan tidak dapat dilakukan tanpa adanya “sesuatu” itu. Dan “sesuatu” itu adalah kapal perang canggih serta modern. Sebab, pengamanan kedaulatan laut republik yang luasnya seluas benua ini, tidak akan dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya “sesuatu” tadi.
Sebagai wartawan yang hidup sepuluh tahun di perbatasan, Batam, saya melihat wibawa bangsa ini seperti tak ada lagi di mata tetangga kita, Singapura dan Malaysia. Mereka tak takut apalagi gentar dengan kekuatan tempur kita di laut. Slogan, “Hantu Laut” dan “Di Laut Kita Jaya” itu sudah tidak lagi menggetarkan nyali musuh. Buktinya, sudah sering media menulis laporan adanya kapal-kapal patroli milik kedua negara tetangga itu melintas batas wilayah zona eksklusif lalu masuk ke perairan kita. Juga kerap kali kapal nelayan kita dihalau oleh kapal patroli polisi Diraja Malaysia, justru di perairan kita sendiri. Ironis. Lalu, ke mana kapal patroli polisi atau tentara kita?
Kalau kita tanyakan masalah ini, ada banyak alasan yang akan kita dengar. Salah satunya adalah, kapal patroli kita terbatas!
Untunglah, petinggi negeri ini sadar betul, kebutuhan kapal perang untuk pertahanan laut sudah mendesak. Kesadaran itulah yang dibuktikan oleh Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin selaku Sekretaris Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), Rabu, 4 Januari 2012 lalu. Bersama dengan sejumlah pejabat di lingkungan Kemhan dan Mabes TNI Angkatan Laut serta Tim Verifikasi KKIP, melakukan kunjungan kerja ke sejumlah perusahaan galangan kapal di Batam, Kepulauan Riau.
Kunjungan Wamenhan dan rombongan ke sejumlah perusahaan galangan kapal di Batam, diawali dengan peninjauan ke PT. Bandar Abadi Shipyard dilanjutkan peninjauan ke PT. Citra Shipyard, PT.Palindo Marine Shipyard dan Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan (Fasharkan) Mentigi. Diakhir kunjungan kerjanya ke Batam, Wamenhan juga menyempatkan diri meninjauan Pusat Komando dan Pengendalian (Puskodal) di Lantamal Batam.
Dalam peninjauan di Fasharkan Mentigi, Wamenhan dan rombongan meninjau fasilitas pemeliharaan dan perbaikan kapal-kapal perang TNI-AL. Sementara itu, saat meninjau PT.Palindo Marine Shipyard, Wamenhan dan rombongan melihat fasilitas produksi dan proses pembuatan kapal perang jenis Fast Missile Boat (Kapal Cepat Rudal/KCR 40) yang merupakan kapal pesanan TNI AL. Dalam kesempatan tersebut Wamenhan juga sempat menguji coba dengan menaiki kapal KCR dengan nama KRI Kujang-642. Kapal tersebut merupakan kapal pesanan TNI AL yang kedua, saat ini masih dalam proses uji coba dan dalam waktu dekat akan diserahterimakan.
PT. Palindo Marine Shipyard mendapat pesanan dari TNI sebanyak dua kapal perang jenis Fast Missile Boat (Kapal Cepat Rudal/KCR 40). Kapal pertama telah diresmikan oleh Menhan pada bulan April 2011 dan sudah memperkuat Armada Perang TNI AL dengan nama KRI Clurit-641. KCR 40 sepenuhnya dikerjakan oleh putra-putri bangsa dan sebagian besar material kapal perang tersebut diproduksi di dalam negeri. Proyek pembangunan dua unit KCR 40 juga merupakan proyek perdana dalam pengadaan alutsista dengan skema pembiayaan dalam negeri sehingga lebih efisien.
KCR 40 dibuat dari bahan high tensile steel & aluminium alloy dan mampu berlayar dengan kecepatan 30 knot. Kapal dengan teknologi tinggi itu memiliki spesifikasi panjang 44 meter, lebar 8 meter, tinggi 3,4 meter dan sistem propulasi fixed propeller 5 daun. Kapal yang sepenuhnya di buat di PT. Palindo tersebut dilengkapi sistem persenjataan modern (Sewaco/Sensor Weapon Control), diantaranya meriam caliber 30mm enam laras sebagai sistem pertempuran jarak dekat (CIWS) dan rudal anti kapal buatan China C-705.
PT. Palindo Marine Shipyard merupakan salah satu perusahaan galangan kapal di Batam yang memiliki pengalaman selama 20 tahun dan telah memproduksi kurang lebih dua ratus kapal dengan berbagai tipe dan ukuran serta bermacam–macam tipe kapal, antara lain Crew Boat, Passenger Ferry, Patrol Boat, Rescue Boat dan jenis kapal lainnya.
Dengan potensi yang dimiliki Batam, maka sesungguhnya tinggal dua faktor lagi untuk memenuhi “sesuatu” sebagai kebutuhan. Yaitu, kemauan politik dan finansial. Sudah sejauh apakah kesadaran para petinggi republik ini akan wibawa dan harga diri bangsa di perbatasan. Jika tidak didukung oleh militer dengan kekuatan tempur yang handalnya, apakah Amerika Serikat dan sekutu Baratnya akan menghormati Cina? Apakah Barat tidak berbondong-bondong mengirim pasukan berikut kapal induknya ke Korea Utara (Korut) jika negeri gingseng itu tidak memiliki senjata nuklir? Atau, apa lagi yang ditunggu Paman Sam untuk mengirim ”Rambo”-nya ke negeri para mullah, Iran, jika bukan karena pertimbangan kekuatan tempur dan persenjataan nuklir serta rudal jarak jauh Iran?
Semua itu membuktikan, bahwa kekuatan militer tetap menjadi faktor penting untuk mengangkat harga diri bangsa di kawasan regional maupun internasional. Jangan lupakan sejarah, Jasmerah, bahwa tentara Indonesia pernah disegani negara-negara kawasan pada saat negeri ini dipimpin oleh Bung Karno. Ketika itu, kekuatan tempur TNI, didukung oleh pesawat dan kapal perangnya, jauh lebih unggul dari kekuatan tempur Malaysia dan Singapura. Tapi kini seberapa kekuatan tempur kita dibandingkan dengan negara kawasan ragional?
Tidak perlu psimis. Jika industri strategis seperti galangan kapal pembuat kapal tempur itu sudah bisa dilakukan sendiri oleh anak bangsa. Bahkan, ”sesuatu” itu diproduksi di depan beranda depan rumah tetangga kita, Singapura dan Malaysia. Ini sungguh satu keuntungan strategis. Paling tidak, akan berdampak pada psywar bagi kekuatan musuh. Mereka tinggal memantau secara terus menerus, bagaimana tentara kita terus memperkuat alutsista-nya. Dengan didukung anggaran sebesar Rp Rp 64,4 triliun, besar harapan saya, TNI kita akan disegani, minimal, di kawasan perairan Selat Malaka, Selat Singapura dan perairan laut Natuna. Meskipun dana sebesar itu, untuk belanja semua kebutuhan TNI, termasuk belanja rutin dan gaji prajurit. Jadi, berapa sisanya untuk memperkuat alutsista?
Bandingkan, anggaran pertahanan negara kota, Singapura, yang luasnya tak lebih besar dari Pulau Bintan itu, mengalokasikan dana sebesar Rp 83,9 triliun pada tahun lalu. naik 11,46% dari anggaran tahun sebelumnya. Sementara Angkatan Laut dan Angkatan Udara Singapura akan mendapatkan alokasi anggaran S$ 11,53 miliar (Rp80,12 triliun) untuk membeli dan memelihara peralatan militer, pemeliharaan kamp serta pembayaran gaji prajurit. Dengan kondisi seperti itu pun, rakyat Singapura masih enggan memanggul senjata. Mereka lebih memilih untuk menjadi profesional yang bergerak di bidang-bidang lain di luar militer. Karena itulah, mereka pun dikenakan wajib militer.
Sekarang, sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang hidup di perbatasan, sudah sewajarnya kita dorong Jakarta untuk lebih fokus pada pengadaan alutsista, khususnya kapal perang yang diharapkan dapat digunakan untuk menjaga kedaulatan negara dan martabat bangsa. Rando!*
5