The Border Watchdog

PEMIMPIN BERWAWASAN KETAHANAN NEGARA

Apa jadinya, jika kepala daerah di kawasan perbatasan tidak memiliki wawasan pertahanan negara?

Selain melaksanakan amanat rakyat yang telah menjatuhkan pilihan kepada dirinya sebagai walikota atau bupati, tugas lain kepala daerah di kawasan perbatasan adalah mempertahankan kedaulatan negara serta harga diri bangsa. Tugas ini, barangkali tidak terlalu dituntut pada kepala daerah yang tidak di daerah perbatasan. Sebab, tugas itu sudah ditangani dengan baik oleh TNI. Memang, salah satu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) TNI adalah menjaga kedaulatan negara. Tapi khusus di wilayah perbatasan, tugas itu juga menjadi tanggung jawab kepala daerah. Karena itulah, apa jadinya jika walikota atau bupati di daerah perbatasan tidak memiliki wawasan ketahanan negara?

Bisa-bisa, kepentingan non strategis atau bahkan kepentingan pragmatis akan mengalahkan kepentingan strategis pertahanan negara. Ini bahaya dan membahayakan kelangsungan hidup bangsa. Bahkan, membahayakan kedaulatan negara. Siapa yang bakal dirugikan? Sudah pasti rakyat akan menganggung semua resiko dan derita, sebagai konsekwensi dari sikap kepala daerah yang tidak memiliki wawasan pertahanan negara itu. Meskipun, di setiap daerah di seluruh kawasan di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tercita ini, pasti ada Musyawarah Pimpinan Dareah (Muspida). Namun, kepala daerah di perbatasan, tetaplah mutlak memiliki wawasan pertahanan negara itu.

Ini sekadar mengambil contoh, di Batam ada satu proyek reklamasi pantai yang jelas-jelas kontra produktif dengan tugas pertahanan negara. Proyek menguruk pantai hingga menjorok ke tengah laut itu berada di tepat di depan Pangkalan Angkatan  Laut (Lanal) Batam. Proyek reklamasi ini nantinya akan dibangun galangan kapal (shipyard) yang juga akan mendatatangkan devisa negara, pemasukan kas daerah dan menyerap tenaga kerja. Apalagi, bisnis galangan kapal ini sedang menjadi primadona bagi Batam. Inilah investasi yang paling bergairah di Batam. Sementara investasi bidang elektronika atau pun manufaktur, satu per satu bertumbangan. Lalu, apa yang salah dengan proyek yang sudah berjalan lebih dari dua tahun itu?

Masalahnya adalah, proyek ini ”berhasil dengan baik” menutup akses radar milik TNI AL. Sudah barang tentu, tugas-tugas penting anggota TNI AL dalam mengamankan laut dan pertahanan negara pasti terganggu. Radar yang seharusnya dapat memantau setiap pergerakan kapal di Selat Malaka dan Selat Singapura, kini terhadang oleh bangunan-bangunan shipyad milik pengusaha keturunan berinisial EA itu. Pengusaha ini tidak salah, sebab dia sudah mengantongi izin reklamasi dari Pemerintah Kota (Pemko) Batam, sebagai pihak yang memiliki otoritas atas reklamasi laut. Lalu apa masalahnya? Justru di sinilah masalahnya.

Jika kepala daerah kurang memiliki wawasan pertahanan negara, maka kepentingan sesaat dapat mengalahkan kepentingan nasional, yaitu pertahanan negara. Apalagi, siapa yang dapat menjamin bahwa pengusaha ini tidak akan ”berkolaborasi” dengan pihak-pihak ”luar” yang berkepentingan pada pemantauan setiap kegiatan pasukan Angkatan Laut di Lanal Batam? Apa yang susah dilakukan dengan posisi shipyard yang hanya berjarak tidak lebih dari 50 meter? Semestinya, hal ini menjadi kajian strategis seorang kepala daerah sebelum memberikan izin. Meskipun investasi ini akan berdampak langsung secara ekonomi dan menguntungkan jika dilihat dari kacamata pragmatis.

Tapi sudahlah. Itu hanya sekadar contoh. Toh para pihak yang berwenang sudah mengambil jalan musyawarah. Yaitu, TNI AL, Walikota Batam, BP (Badan Pengusahaan) Batam dan pengusaha pemilik shipyard. Hasilnya, pengusaha pemilik hak reklamasi bersedia menghibahkan lahan seluas 50 meter sepanjang bibir pantai yang direklamasi kepada pihak Lanal Batam. Padahal, Lanal berharap 500 meter di depan Lanal tidak boleh ada bangunan sipil. Tapi itu tidak mungkin. Namun itu kan keputusan jalan tengah. Sesuatu yang diputuskan karena keterbatasan pilihan. Dan kegiatan reklamasi sudah selesai. Pembangunan shipyard pun sudah pula merangkak rampung. Apa mau dikata?

Hanya, asal tahu saja, Rabu, 4 Januari 2011 lalu, proyek ini sempat menjadi pembahasan hangat pada saat Wakil Menteri Pertahanan (Wamenhan) Letnen Jenderal (Letjen) Sjafrie Sjamsoeddin selaku Sekretaris Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) melakukan kunjungan kerja Lanal Batam. Bersama Wamenhan yang mantan Komandan Jenderal Kopassus TNI AD itu, turut pula sejumlah pejabat Kemhan antara lain Irjen Kemhan Laksdya TNI Gunadi, M.D.A., Kabaranahan Kemhan Mayjen TNI Ediwan  Prabowo, Dirjen Renhan Kemhan Marsda TNI BS. Silaen, S.IP, Dirjen Kuathan Kemhan Laksda TNI Bambang Suwarto, Dirtekind Ditjen Pothan Brigjen TNI Agus Suyarso, dan Kapuskom Publik Kemhan Brigjen TNI Hartind Asrin. Sedangkan dari Mabes TNI AL antara lain Asrena Kasal Laksamana Muda TNI Sumartono dan Aslog Kasal Laksda TNI Sru Handayanto. Sementara itu, Tim Verifikasi KKIP antara lain Said Didu, Prof Dr. Ir. Lilik Hedra, Sumardjono, Silmy Karim dan Dr. Timbul Siahaan. Turut pula pejabat dari Kementerian Keuangan dalam hal ini diwakili Direktur Anggaran III Ditjen Anggaran Kemkeu, Sambas Muliana.

Semoga, dengan belajar dari kasus ini, semua kepala daerah di wilayah perbatasan dapat mengambil pelajaran berharga. Bahwa, kepentingan pertahanan negara jauh lebih penting daripada kepentingan pragmatis sesaat. Suai? 

8