Oleh Dahlan Iskan
INILAH universitas yang punya gudang buku. Besar sekali. Mengalahkan superstore.
Jumlah mahasiswanya pun tak tertandingi: hampir 500.000. Tepatnya: 412.697.
Wilayahnya juga terluas: se-Indonesia. Sampai nun di pelosok terjauh: Miangas.
Anda pun tahu siapa dia: Universitas Terbuka (UT). Yang kampus utamanya di Pondok Cabe, Jakarta Selatan. Seluas 18 hektare. Ditata rapi, bersih, indah, berkontur, berdanau, dan sangat hijau.
Saya baru sekali ini ke kampus UT. Kemarin. Langsung setiba dari Singkawang, Kalbar. Tidak satu pun terlihat mahasiswa di kampus itu. Anda tahu itu: di UT belajarnya tanpa kelas. Bukan karena pandemi. Sejak didirikannya di tahun 1984 pun sudah begitu.
Kampus ini lebih banyak diisi oleh pemikir pendidikan. Sekitar 600 orang bekerja di situ. Mereka merumuskan materi kuliah. Mengajar jarak jauh. Menyusun materi ujian. Membuat standar buku pelajaran.
Memang ada gedung auditorium di kampus ini: khusus untuk wisuda. Itu pun hanya bagi yang nilainya istimewa. Wisuda selebihnya di daerah masing-masing.
Di UT sekali wisuda bisa 100.000 sarjana. Tidak akan ada gedung yang memenuhi syarat untuk wisuda bersama.
Salah satu lulusan terbaik UT adalah Hanif Nurcholis. Ia angkatan pertama UT. Masuk tahun 1984. Kini sudah profesor-doktor. Sebagai alumni terbaik Hanif diminta mengabdi di almamater sendiri. Jabatannya saat ini: Ketua Senat Akademik UT.
Ketika universitas lain gamang dengan pengajaran jarak jauh (akibat Covid-19), UT biasa saja. Dia sudah ‘pandemi’ sejak lahir. Dan terus pandemi selama 38 tahun umurnya sekarang ini.
Sejak lahir sistem pembelajaran UT jarak jauh. Sejak belum ada HP dan wifi.
Materi kuliahnya, saat itu, dikirim lewat pos. Demikian juga soal ujian dan jawabannya. Pertanyaan ke dosen pun dikirim pakai surat. Begitulah awalnya. Lalu ada juga materi kuliah dalam bentuk kaset. “Saya masih menyimpan sekitar 50 kaset,” ujar Hanif.
Saya pun meninjau gudang bukunya. Lebih besar dari Makro. Itulah buku pelajaran yang harus diteliti, diseleksi dan dikirim ke mahasiswa. Ukuran buku untuk mahasiswa UT saat ini dibuat lebih besar: A4. Ruang putih di pinggir tiap halamannya dibuat lebih lebar: untuk catatan, komentar atau pun pertanyaan tentang isi buku di halaman itu.
Rektor UT sekarang adalah Prof Drs Ojat Darojat MBus PhD. Anda sudah tahu: ia pasti orang Sunda. Ia lahir di desa Bojongloa, pedalaman Subang.
Ini adalah tahun kedua periode keduanya sebagai rektor UT. Alumnus Universitas Pendidikan Indonesia ini meraih S2 di La Trobe University Melbourne. Lalu mendapat gelar doktor di Kanada. Di Simon Fraser University. Linier. Dari pendidikan ke pendidikan.
Sejak masih jadi guru Ojat tergabung di Pergunu (Persatuan Guru NU). Kini Ojat jadi pengurus pusat Pergunu. Juga duduk di pengurus besar NU.
“Harusnya UT bisa punya mahasiswa setidaknya 1 juta orang,” ujar Ojat. Itulah program utamanya ke depan. Di India, UT punya 5 juta mahasiswa. Demikian juga di Tiongkok.
Ojat hafal angka-angka itu. Ia ketua asosiasi Universitas Terbuka se-Asia. Untuk periode kedua.
Ojat akan terus melawan citra UT sebagai universitas kelas dua. Ia pun menunjukkan bukti kejadian tahun 2019. Yakni ketika ada penerimaan pegawai negeri.
“Alumni UT paling banyak diterima. Sampai 9.436 orang. Melebihi angka dari universitas negeri lainnya,” ujar Ojat. Ia lantas mengabadikannya dalam Rekor MURI. “Menandakan mutu UT sudah tidak kalah,” ujar Ojat.
Orang sering lupa: UT ini universitas negeri. Sejajar dengan UI, Unpad, UGM atau Unair. Jadi, kalau maunya hanya kuliah di universitas negeri mengapa tidak ke UT. “Mutunya kami jamin. Kami sangat keras dalam menjaga mutu,” ujar Ojat.
Bukti keseriusan lain: di masa kepemimpinannya UT menjadi PTN-BH. Perguruan tinggi berbadan hukum. Sejak tahun lalu. Sejajar dengan 16 perguruan tinggi terkemuka lainnya. Padahal, seperti Universitas Negeri Jakarta, belum PTN-BH.
“Kelemahan” UT adalah belum punya program studi bidang tehnik. Misalnya teknik sipil, mesin, kimia atau elektro. Sistem pengajaran jarak jauh belum menemukan cara praktikum yang efektif. Padahal mahasiswa teknik harus banyak praktik secara fisik.
Tentu ini harus dipecahkan. Negeri ini harus punya alumni bidang teknik jauh lebih besar dari bidang lainnya. Kita sudah terlalu banyak memiliki sarjana sosial dan agama. Termasuk sarjana hukum.
Padahal UT-lah yang bisa mencetak sarjana dalam jumlah besar.
Memang kehadiran UT harusnya bisa menepis isu pemerataan pendidikan tinggi. Biaya kuliah di UT sangat murah: hanya Rp 35.000/mata kuliah. Kalau yang dimiliki hanya Rp 35.000 mahasiswa boleh hanya mengambil satu mata kuliah. Yang lainnya bisa diambil lain kali. Pun bagi yang harus bekerja. Bisa mengambil mata kuliah satu atau dua saja.
Masalahnya tinggal mau kuliah atau tidak.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia